Kamis, 22 Januari 2009

MA’ALIM FI USHUL FIQH MENURUT TIMBANGAN AHLI SUNNAH

Pengertian Ushul Fiqh
Ushul Fiqh adalah pengetauan tentang dalil-dalil fiqh yang masih glaobal, tata cara penggunaan dalil tersebut dan keadaan orang yang menjabarkan hukum.
Pembahasan dalam ilmu ii mencakup empat perkara :
1. Tentang dalil-dalilnya
2. Penyimpulan dalil
3. Ijtihad
4. Hukum-hukum.
Sedangkan makna Ushul Fiqh secara susunannya (tarkib) adalah :
1. Pengertian Ushul.
Secara bahasa : jama' dari kata 'Ashl yaitu sesuatu yang dibuat sandaran.
Secara istilah : dimutlakkan untuk suatu dalil. Seperti perkataan : dasar dari permasalahan ini adalah al Qur'an dan as Sunnah, maksudnya adalah dalilnya.
2. Pengertian Fiqh
Secara bahasa : paham
Secara istilah yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum syari'ah yang diambil dari dalil-dalil secara detail.

Peletakan Ilmu Ushul Fiqh
Yaitu : mengetahi dalil-dalil syara', tartibnya dan keadaannya.

Sumber Ilmu Ushul Fiqh
Yang dimaksud dengan sumber ilmu ushul fiqh adalah kaidah-kaidah untuk menerapkan suatu dalil-dalil syara', diantaranya adalah :
1) Penetapan nash-nash dari kitab dan sunnah
2) Atsar yang diriwayatkan dari para Sahabat dan tabi'in
3) Ijma' ulama Salaf as Shalih
4) Kaidah-kaidah bahasa Arab serta penguatnya yang diambil dari orang arab.
5) Naluri yang lurus dan akal yang bersih
6) Ijtiad ahlil 'ilmi, dan istinbatnya (pengambilan hukum) yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara'
Faedah-faedah dari ilmu Ushul fiqh
1) Menentukan dalil-dalil yang pokok, yaitu menerangkan dalil-dalil shahih dari dalil yang tidak shahih.
2) Menjelaskan segi keshahihan dalil.
3) Memudahkan untuk berijtihad dalam kejadian yang kotemporer yang sesuai dengan hokum syara'
4) Menjelaskan ketentuan-ketenruan fatwa dan syarat-syarat serta adab bagi seorang mufti.
5) Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan diantara para ulama.
6) Mengajak untuk ittiba' terhadap dalil-dalil serta meninggalkan fanatic kesukuan dan taqlid buta.
7) Menjaga kelestarian aqidah yang lurus dengan menjaga dasar-dasar dalil syara'.
8) Membentengi fiqih islam dari peletakan dasar-dasar syare'at yang baru.
9) Menetukan kaidah-kaidah dengan merujuk (kembali) kepada dalil-dalil shahih yang mu'tabar.
10) Berpijak kepada keluasan syare'ah islam dan kemudahan didalamnya. (hal : 23).

Sejarah Ushul Fiqh Dalam Pandangan Ahli Sunnah
Ilmu Ushul Fiqh dalam pandangan ahli sunnah berjalan dalam tiga periode :
1. Periode pertama
yaitu masanya Imam Syafi'I, periode ini selesai diakhir abad keempat Hijriyyah. Dan yang paling menonjol dalam masa ini adalah pembukuan Imam Syafi'I tentang ilmu ushul fiqh.
Didalam periode ini kemudian memunculkan dua madrasah besar, yaitu :
• Madrasah hadits yang berada di Madinah, dan diantara syaikhnya adalah Imam Malik bin Anas.
• Madrasah Ra'yu yang berada di Iraq, dan diantara syaikhnya adalah teman-teman Abu Hanifah.
Dasar-dasar Imam Syafi'I dalam memutuskan suatu perkara bersandarkan kepada hal-hal dibawah ini :
• Keterangan dalil-dalil syara', yaitu : al Kitab, as Sunnah, Ijma' dan Kiyas
• Menetapkan kehujjahan as Sunnah secara umum, dan menetapkan hadits ahad secara khusus.
• Membatasi penggunaan dengan ra'yu dan syarat penggunaan kiyas.
• Tidak berkata tentang Allah keuali dengan ilmu, hujjah dan keterangan yang jelas
• Menjelaskan bahwa al Qur'an diturunkan dengan berbahasa Arab.
• Menjelaskan tentang larangan dan perinatah
• Menyebutkan nasih dan mansuh (hal : 28).

Periode pertama ini menjadi sempurna setelah Imam Syafi'I mengarang sebuah buku yang berkenaan dengan ilmu ushul fiqh.

2. Periode Kedua
Periode ini dimulai awal abad kelima Hijriyyah sampai abad ketujuh Hijriyah. Periode kedua ini melahirkan dua imam besar, yaitu :
• Imam Ahli Sunnah di timur yaitu al Khathib al Baghdadi yang mengarang kitabnya yang terkenal "Tarikh al Baghdadi"
• Imam Ahi Sunnah di maghrib (barat) yaitu : imam Abu Umar bin Abdul Bar yang mengarang kitabnya yang terkenal "Tamhid."

Imam Hafidl al Baghdadi telah menyusun sebuah buku yang berkenaan dengan ilmu ushul fiqh, beliau menamai buku tersebut dengan "Al Fiqh al Muttafaqah" yang kemudian bukunya tersebut dijadiakn sebagai nasihat bagi ahli hadits.
Sedangkan imam Hafidl Ibnu Abdil Bar juga telah mengarang kitab yang berkaitan dengan masalah ini, beliau memberi nama kitabnya dengan kitab "Jami' al Bayan al Ilmi." Sebagai jawaban atas orang yang bertanya tentang makna ilmu.
Tapi pada hakekatnya kedua tokoh ini meneruskan jejak dari Imam Syafi'I dalam masalah ilmu ushul fiqh.

3. Periode Ketiga
Periode ini dimulai sejak permulaan abad kedelapan Hijriyyah dan berakhir kurang lebih sampai abad kesepuluh Hijriyyah. Awal periode ini melahirkan dua imam dan tokoh terkenal yang mengikuti manhaj ahli sunnah wal jama'ah, sebagai pembaharu dalam agama ini, mereka adalah :
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
• Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al Jauziyyah (muridnya Ibnu Taimiyyah).

Diantara keputusan-keputusan beliau, dibangun di atas tuntutan-tuntutan pokok yang bisa membangun permasalahan-permasalahan yang banyak dan cabang-cabangnya, diantaranya adalah :
1. Kewajiban mengikuti al Qur'an dan as Sunnah secara umum, dan tidak boleh menentang kedua sumber tersebut dengan ra'yu atau perilaku atau perasaan dll.
2. Sesungguhnya kitab dan sunnah serta Ijma' adalah dasar yang ma'shum (terbebas dari kesalahan), yang bisa menunjuki kepada kebenaran.
3. Sesungguhnya hukum syara' disyaratkan dengan kemampuan, sebab Allah tidak akan membebani sesuatu kecuali dengan kadar kemampuannya
4. Sesungguhnya Rasulullah telah menyempurnakan dan menjelaskan hakekat agama ini, agama telah sempurna dan nash-nash itu berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf. Begitu juga dengan risalah Muammad itu mencakup untuk tsaqilain (jin dan manusia).

Ibnu Qayim telah menyebutkan dalam kitab "I'lamul Muwaqi'in" pembahasan tentang permasalahan ini, dan diantara pembahasannya adalah:
1. kiyas
2. istishab
3. taqlid
4. tambahan untuk nash
5. perkataan sahabat
6. fatwa-fatwa
7. dalil-dalil lafalz atas dhahir
8. menolak bahaya
9. didalam syara' tidak ada yang menyelisihi kiyas

disamping itu juga ada pembahasan lain, diantaranya ialah :
 menyebutkan imam-imam ahli fatwa dari kalangan sahabat dan tabi'in dan orang yang setelahnya.
 Menjelaskan tentang keputusan Umar dalam beberapa perkara
 Macam-macam ra'yu yang terpuji dan terela
 Permasalahan dalam talak dan sumpah
 Fatwa-fatwa Nabi dalam masalah aqidah dan permasalahan fiqh
 Penjelasan tentnag masalah khilah yang mubah dan yang bathil
 Permisalan menolak yang muhkam atas mutasyabih
 Permisalan menolak sunan dengan dhahir al Qur'an

Dalil – Dalil Syara' Yang Sesuai Dengan Dasar – Dasar Dan Sumber – Sumbernya
Para ulama sahli sunnah sepakat bahwa dalil-dalil syara' itu ada empat macam :
1. al Kitab
2. as Sunnah
3. Ijma'
4. dan Kiyas

dan mereka juga sepakat bahwa dalil-dalil yang empat tersebut kembali kepada sumber yang satu, yaitu al Kitab dan as Sunnah.sebab keduanya sebagai penegak agama islam ini.
Imam Syafi'I berkata : "sesunggunnya tidak ada keharusan untuk mengikuti perkataan dalam setiap keadaan kecuali dari Kitabullah dan Suannah rasul-Nya, sedangkan selain dari pada keduanya hanya sekedar mengikut."

Kekhususan Pokok Dalil-Dalil Kitab Dan Sunnah
1. Sesungguhnya dasar ini terbangun diatas wahyu Allah, al Qur'an adalah kalamullah, sedangkan sunnah Nabi-Nya sebagai keterangan dan penjelasan dari wahyu Allah. (an Najm : 3-4)
2. Sesungguhnya dasar ini disampaikan langsung dari Rasulullah, karena kita tidak mendengar langsung dari Allah dan juga dari Jibril kecuali Rasulullah, sedangkan Rasulullah mendengar secara langsung isi kandungan dari Allah, dan Sunnah sebagai penjelas apa yang disampaika Allah kepada Rasul-Nya. (QS al An'am : 19)
3. Sesungguhnya Allah selalu mengnjaga pokok/dasar ini.
4. Sesungguhnya Allah menjadikan dasar ini sebagai hujjah yang diturunkan kepada makhluk-Nya
5. Sesungguhnya dasar ini merupakan sumber dari ilmu dan jalan pengkhabaran Allah kepada makhluk-Nya. Ibnu Abdil Bar berkata : "dasar dari segala ilmu adalah al Qur'an dan as Sunnah."
6. Sesungguhnya dasar ini merupaka metode untuk mengetahui yang halal dan yang haram, dan mengetahui hukum-hukum Allah serta syare'at-Nya.
7. Wajibnya mengikuti dan berpegang teguh terhadap dasar ini.
8. Wajib menerima dasar ini secara keselurahan dan larangan untuk berpaling darinya.
9. Sesungguhnya berpaling dari dasar ini menunjukkan cacatnya iman.
10. Sesungguhnya dasar ini merupakan rujukan dari berbagai perbedaan dan perselisihan
11. Sesungguhnya daar ini merubah fatwa-fatwa yang menyelisihinya
12. Sesungguhnya kiyas harus sesuai dengan dasar ini, dan tidak boleh menyelishinya.
13. Apabila dasar ini telah ditetapkan, maka gugurlah semua pendapat dan ijtihad yang menyelisihinya.
14. Sesungguhnya dasar ini didahulukan diatas akal jika terjadi perbedaan dinatara keduanya.
15. Sesungguhnya didalam dasar ini terdapat jawaban atas setiap persoalan.
16. Sesungguhnya dasar ini merupakan hal yang paling penting untuk kemaslahatan hamba dikehidupan dunia dan akhirat.
17. Sesungguhnya berpegang teguh kepada dasar ini merupakan pokok dari segala kebaika, kebahagiaan dan kemenangan, dan yang menyelisihinya adalah kesesatan dan kesengsaraan.
18. Sesugguhnya dasar ini merupakan rujukan dari semua dalil-dalil, baik yang disepakati ataupun yang diperselisihkan.



Dalil – Dalil Yang Disepakati
1. al Kitab
2. as Sunnah
3. Ijma’
4. Kiyas

Pengertian al Kitab
Maksud dari al kitab dalam pembahasan ini adalah al Qur’an.
Sedangkan pengertian al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad dan sebagai mu’jizat dan dianggap beribadah bagi orang yang membacanya.
Pengertian seperti ini ada empat keterkaitan, yaitu :
1. Sesungguhnya al Qur’an adalah kalamullah secara hakiki.
2. Diturunkan dari sisi Allah
3. Sebagai Mu’jizat
4. Dianggap beribadah bagi siapa yang membacanya. (hal : 102)

Ayat – ayat yang terkandung dalam al Qur’an terbagi menjadi dua bagian :
1. Ayat Muhkam : sesuatu yang tidak perlu adanya ta’wil
Atau sesuatu yang harus dilaksanakan
2. Ayat Mutasyabih : sesuatu yang memerlukan ta’wil, atau sesuatu yang harus diimani dan tidak diamalkan.
Firman Allah :
              •                        •            
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat . adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS Ali Imran : 7) (hal : 105)

As Sunnah
Pengertian as Sunnah
Secara bahasa : perjalanan atau jejak baik yang terpuji maupun yang tercela.
As Sunnah dikalangan ahli ushul bermakna : Sesuatu yang bersumber dari Nabi selain al Qur’an. Hal ini mencakup perkataan beliau, perbuatan, penetapannya.
• Jika ada lafalz “hikmah” yang diiringi dengan lafalz al Qur’an, maka yang dimaksud adalah as Sunnah menurut ulama Salaf.
Firman Allah (an Nisa’ : 113)

Pembagian as Sunnah
Dilihat dari keterkaitannya dengan al Qur’an, as Sunnah terbagi menjadi 3 bagian :
1) As Sunnah al Mu’akkadah (sunnah yang dikuatkan) yaitu sunnah yang sesuai dengan al Qur’an dari setiap segi. Seperti kewajiban shalat.
2) Sunnah mubayinah yaitu sunnah sebagai penjelas dan tafsiran makna al Qur’an yang masih global.
3) Sunnah Istiqlaliyyah yaitu sunnah yang berfungsi sebagai tambahan terhadap sesuatu yang ada dalam al Qur’an. sunnah yang mewajibkan sesuatu yang didiamkan al Qur’an tentang hukumnya atau mengharamkankannya.

Kehujjahan as Sunnah
Kaum Muslimin telah sepakat atas wajibnya mentaati Rasulullah dan mengikuti sunnah beliau.
Ibnu Taimiyyah berkata : “Jika sunnah telah ditetapkan, maka kaum Muslimin semuanya sepakat untuk ta’at dan wajib mengikutinya.”

Dalil – Dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti Sunnah Rasulullah adalah :
1) Dalil Al Qur’an
Allah memerintah untuk mengikuti Rasulullah dengan firman-Nya (ali Imran : 32)
Allah juga mengancam bagi orang yang menyelishi sunnah Rasulullah, dengan firman-Nya (an Nuur : 63)
2) Dalil as Sunnah
Sabda Rasulullah :
فعليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجد
”maka wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin yang mendapatkan petunjuk, berpegang teguhlah terhadapnya.”

Perilaku Rasulullah dibagi menjadi tiga bagian :
1) Perilaku beliau sebagai kebiasaan, seperti berdiri, duduk, makan, minum. Perilaku ini mubah untuk kita ikuti, karena hal itu tidak ada maksud untuk menetapkan undang-undang, dan untuk tujuan ibadah. Perilaku ini dinisbatkan kepada kebiasaan beliau.
2) Perilaku yang khusus untuk beliau yang telah ditetapkan dengan dalil akan kekhususan beliau, seperti nikah lebih dari empat istri, bagian ini diharamkan bagi selain beliau.
3) Perilaku yang berfungsi sebagai penjelasan dan penatapan undang-undang, seperti perilaku beliau sewaktu haji, shalat dll.

Kedudukan as Sunnah dalam al Qur’an
1. Jika dilihat dari segi sumber hukumnya, maka as Sunnah dan al Qur’an memilki kedudukan yang sama (satu kedudukan), sebab kaduanya merupakan wahtu dari Allah.
          
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an Najm : 3-4)


Sebagian ahli ilmu sepakat bahwa Rasulullah tidak menetapkan suatu sunnah kecuali dengan wahyu Allah, mereka berhujjah dengan ayat tersebut.
Dikatakan pula bahwa Rasulullah tidak menetapkan sunnah kecuali bersumber dari al Kitab, maka semua seunnah-sunnah beliau sebagai penjelas untuk al Kitab, seperti apa yang disunnahkan beliau dalam masalah jual beli, beliau menjelaskannya berdasarkan firman Allah (an Nisaa’ : 29) dan firman-Nya (al Baqarah : 275)
2. Dilihat dari segi kehujjahan dan kewajiban mentaatinya, maka al Qur’an dan as Sunnah mempunyai kedudukan yang sama dalam masalah tesebut.
Imam Khatib al Baghdadi telah membuat satu bab dalam permasalahan tentang hal tersebut, ia berkata : “Bab tentang penyamaan antara hukum Allah dengan sunnah Rasul-Nya dan kewajiban untuk mengamalkannya…”
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya apa yang diharamkan Rasulullah diharamkan juga oleh Allah.”
3. Dilihat dari segi dalilnya bahwa al Qur’an menunjukkan wajibnya beramal dengan as Sunnah, dan sesungguhnya penetapan kehujjahan as Sunnah itu dari al Kitab (al Qur’an).
4. Dilihat dari segi penjelasan (bayan) maka as Sunnah sebagai penjelas terhadap apa yang terkandung dalam al Qur’an, yaitu sebagai pengkhususan dari yang masih umum dalam al Qur’an dll.

Maksud dari pembahasan ini bahwa al Qur’an dan as Sunnah saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan, selalu ada kesesuaian dan tidak ada perselisihan diantara keduanya, sebagaimana perkataan sebagian salaf : “ia adalah al Kitab dan as Sunnah, al Kitab membutuhkan as Sunnah begitu juga as Sunnah memerlukan al Kitab.”

Ijma’
Pengertian Ijma’
Secara bahasa : dimutlakkan untuk kesungguhan dan dimutlakkan pula untuk makna kesepakatan. Seperti perkataan mereka : suatu kaum telah beijma’ tentang hal demikian, maksudnya : mereka telah sepakat tentang suatu permasalahan.

Ijma’ menurut ahli ushul adalah
Kesepakatan mujtahid dikalangan ummat Muhammad setelah wafatnya. di suatu masa dari beberapa masa dalam permasalahan agama.

Pengertian ini mencakup beberapa permasalahan, diantaranya :
1. Sesungguhnya sumber ijma’ harus dari kesepakatan semua ulama’ mujtahid, dan tidak sah apabila bersumber dari sebagian mujtahid.
2. yang dimaksud dengan mujtahid dalam permasalahan ini adalah yang masih hidup, tidak orang yang sudah meninggal atau yang belum lahir.
Dan ini juga yang dimaksud dalam suatu masa dari beberapa masa.
3. hendaknya ijma’ dari kalangan orang-orang muslim, maka tidak dikatakan ijma’ jika dari kalangan non islam.
4. hendaknya ijma’ berlaku setelah wafatnya Rasulullah, dan ijma’ ini tidak terjadi sewaktu beliau masih hidup.
5. Hendaknya permasalahandalam ijma’ dari permasalahan seputar agama, dan ijma’ tidak berlaku dalam permasalahan dunia dan yang lainnya.

Macam – Macam Ijma’
• Ijma’ dilihat dari segi dzatnya terbagi menjadi dua bagian :
1. Ijma’ Qauly / Ijma’ Sharih : kesepakatan dari semua kalangan mujtahid terhadap suatu hukum dengan mengatakan “perkara ini halal” atau “haram”
2. Ijma’ Sukuty / iqrary : perkataan atau perbuatan sebagian mereka dan yang lain mendiamkannya tanpa mengingkarinya.
Para ulama berbeda pendapat dalam amsalah ijma’ sukuty, sebagian mereka menjadikan sebagai hujjah yang pasti, dan sebagian lagi menjadikannya sebagai hujjah dhany dan sebagian lagi tidak menjadikannya sebagai hujjah.
Sebab-sebab khilaf dalam masalah ini adalah bahwa diam (sukut) itu mengandung makna ridla dan tidaknya.

• Ijma’ dilihat dari segi ahlinya, ijma’ dibagi menjadi dua bagian :
1. Ijma’ umum yaitu ijma’ seluruh kaum muslimin atas apa yang sudah dimaklumi dari perkara agama, seperti kewajiban shalat dan zakat dll.
2. Ijma’ khusus yaitu kesepakatan dikalangan ulama’ seperti senggama yang membatalkan puasa.

• Ijma’ dari segi masa dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Ijma’ Shahabat (disepakati kehujjhannya)
2. Ijma’ selain Shahabat. (ada perbedaan dalam kehujjahannya, pendapat jumhur sepakat untuk dijadikan hujjah).

• Ijma’ dari segi kekuatannya dibagi menjadi dua bagian :
1. Ijma’ Qath’I seperti ijma’ Shahabat yang dinukil secara mutawatir dan ijma’ yang sudah dimaklumi dalam permasalahan agama (wajibnya shalat).
2. Ijma’ Dhani seperti ijma’ sukuty.

Kehujjahan Ijma’
Ahli Ilmu sepakat behawa Ijma’ adalah hujjah syar’I yang wajib diikuti.

Dalil – Dalil Ketetapan Ijma’
1. Dalil al Qur’an
Firman Allah (an Nisaa’ : 115) (ali Imran : 110)
2. Dalil as Sunnah
Rasulullah bersabda :
• فمن أراد بحبوحة الجنة فليزم الجماعة
• إن أمتى لا تجتمع على ضلالة
Syarat – Syarat Ahli Ijma’ :
1. Hendaknya ia dari ulama mujtahid
2. Hendaknya mujtahid dari kalangan kaum Muslimin.
3. Termasuk dari sahnya ijma’ adalah perkataannya tersebut disepakati oleh semua mujtahid.
4. Hendaknya ahli ijma’ dari orang yang masih hidup.

Ijma’ ahli Madinah terdiri dari 4 tingkatan, yaitu
1. Sesuatu yang dinukil langsung dari Nabi, seperti mereka menukil kadar sha’ dan mud, mereka sepakat menjadikan hujjah dalam permasalahan ini.
2. Amal ahli Madinah sebelum kematian Utsman bin Affan, ini sebagai hujjah menrut Jumhur Ulama’.
3. Apabila ada dua dalil yang bertentangan dalam satu permasalahan, seperti dua dalil hadits atau dua kiyas yang tidak bisa diketahui mana yang lebih kuat, yang salah satunya diamalkan oleh penduduk madinah, maka mereka berbeda pendapat dalam kehujjahannya.
Madzhab Imam Malik dan Dyafi’I merajihkan amalan ahli Madinah, sedangkan pendapat Abu Hanifah tidak merajihkan pendapat tersebut.
4. Amalan penduduk Madinah pada masa-masa akhir, maka apakah ia termasuk hujah syar’iyah ataukah tidak?
Menurut para ulama bahwa ia tidak termasuk hujjah syar’iyyah, ini adalah pendapat Imam Syafi’I, Ahmad, Abu Hanifah dan yang lain.

Tingkatan – tingkatan hukum didalam Ijma’
Jika ijma’ telah ditetapkan, maka terdapat tingkatan-tingkatan hukum yang berlaku dalam ijma’, yaitu :
1. Wajib untuk mengikutinya dan haram untuk menyelisihinya, inilah yang dimaksud bahwa ijma’ itu dijadikan hujjah.
2. Sesungguhnya ijma’ itu haq dan benar, dan terbebas dari kesalahan.
Yang demikian itu disebabkan hal-hal sebagai berikut :
• Tidak mungkin terjadi khilaf didalam permasalahan ijma’, karena ummat Muhammad tidak mungkin sepakat dalam kesalahan dan menyelishi nash yang syar’i.
• Ijma’ tidak mungkin ada khilaf (perbedaan) dengan ijma’ sebelumnya, jika hal itu terjadi maka salah satunya harus dibatalkan.
• Tidak mungkin riddah terjadi dikalangan umat Muhammad secara keseluruhan, sebab riddah merupakan kesalahan yang paling besar, sedangkan telah ditetapkan dalam dalil-dalil syar’I, bahwa ummat Muhamad tidak mungkin sepakat dalam kesalahan dan kesesatan.
• Dan tidak mungkin bagi ummat untuk meniadakan (menghilangkan) nash syar’I, sedangkan ia membutuhkan nash tersebut, akan tetapi kebnyakan ummat tidak tahu (bodoh) dengan nash-nash tersebut.

Beberapa permasalahan dalam masalah ijma’
• Jika terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat, maka orang yang setelahnya tidak boleh keluar dari pendapat tersebut dan membuat pendapat sendiri selain dari pendapatnya sahabat.
• Jika terjadi perbedaan pendapat diantara para sahabat dalam suatu permasalahan, maa para Tabi’in (orang yang setelahnya) berijma’ (sepakat) ntuk yang satu dan membatalkan yang lain, karena perilaku yang demikian termasuk dari meniadakan kebenaran dan melupakan dalil yang mengharuskan untuk berijma’.
• Hukum mengingkari hukum yang telah disepakati.
Orang yang mengingkari hukum yang telah maklum dalam agama yang telah disepakati kesahihannya, maka ia kafir.
Ibnu Taimiyyah berkata :
“pada hakekatnya orang yang menyelisihi hukum ijma’ yang telah maklum adalah kafir ……… sedangkan ijma’ yang tidak maklum, maka tidak menyebabkan kafirnya orang yang menyelisihinya.”


KIYAS
Pengertian kiyas
Secara bahasa : ukuran, seperti perkataan mereka : aku mengukur pakaian dengan dhira’ (hasta).
Kiyas bisa juga berarti persamaan, seperti perkataan orang itu disamakan dengan orang lain.
Secara istilah membawa cabang hukum kepada hukum asal (pokok) dengan menjama’ keduanya.

Rukun kiyas :
1. Asal (yang digumakan sebagai ukuran)
2. Cabang (yang diukur / dibandingkan)
3. Hukum asal (hukum syara’ yang dibawa oleh nash dalam masalah asal.
4. wasful jami’ (illah) yaitu alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal.

Pembagian Kiyas
Dilihat dari segi kuat dan lemahnya, kiyas dibagi menjadi dua bagian :
1. Kiyas Khafi :
2. Kiyas Jali :

Dilihat dari segi sebabnya, illah dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Kiyas Illah
2. Kiyas Dalalah
3. Kiyas dalam asli maknanya

Kiyas dalam perkara Tauhid dan Aqidah
Para ulama sepakat bahwa tidak ada kiyas dalam permasalahan tauhid dan akidah, karena hal itu akan menjadikan ilhad dan kebid’ahan., dan penyerupaan khaliq dengan mekhluq, serta meniadakan asma’ dan sifat Allah.
Kiyas dalam permasalahan akidah diberlakukan jika ada dalil yang pasti dari pembuat syare’at, seperti dalam firman Allah : an Nahl : 60 dan as Syura : 11


Kiyas Dalam Hukum Syar’i.
Ibnu Taimiyyah berkata : “Barang siapa yang berkecimpung dalam permaslahan dalil-dalil yang syar’I, maka kebanyakan ia akan mengambil dalil dari nash-nash dan dengan kiyas.
Maka menggunkan kiyas untuk menetapkan hukum, diperbolehkan menurut jumhur ulama.
Dilihat dari segi diterima dan tidaknya, kiyas dibagi menjadi dua bagian :
1. Kiyas Shahih : Kiyas yang ada dalam syare’at, yaitu yang terdiri dari kitab dan sunnah
2. Kiyas Bathil : kebalikan dari kiyas shahih.

Dalil – Dalil Kiyas
1. Ijma’ Sahabat yangtelah menghukumi dengan kiyas diberbagai permasalahan.
2. Hadits Mu’adz tatkala Rasulullah mengutusnya ke negri Yaman.
3. Ketetapan dalam al Qur’an dan Sunnah yang memerintahkan untuk mengambil I’tibar dari suatu permasalahan. (al Haysr : 2)

Syarat – Syarat Kiyas
1. Hendaknya hukum asal yang dibuat untuk mengkiyaskan adalah hukum yang tetap, baik dari nash ataupun ijma’.
2. Hendaknya hukum asalanya mempunyai makna yang ma’kul (berakal).
3. Hendaknya ada illah (sebab) yang sesuai dengannya.
4. Hendaknya hukum far’ yang dikadikan nash tidak menyelisihi hukum asal
5. Hendaknya hukum far’ sama seperi hukum asal, maka tidak sah kiyas wajib terhadap kiyas yang mandub.
6. Hendaknya illah tersebut muta’adiyah.
7. Hendaknya illah tetap dengan metodenya, yaitu dengan nash, ijma’ atau kesimpulan dari sebuah hukum.
8. Hendaknya illah tidak menyelisihi nash yang syar’I dan juga ijma’.
9. Hendaknya illah merupakas sifat yang sesuai dan baik untuk hukum.
10. Hendaknya kiyas didalam hukum amali yang syar’I, dan kiyas tidak sah dalam permasalahan akidah dan tauhid.

Sambung hal : 194


Dalil – Dalil Yang Diperselisihkan
1. Istishab
2. Perkatan Shahabat
3. Syare’at Sebelum Kita
4. Istihsan
5. Maslahah Mursalah

Istishab
Pengertian
Secara bahasa : minta untuk bersama yaitu kebersamaan
Secara istilah menetapkan suatu hukum jika hal itu tetap atau meniadakan suatu hukum jika mamang hukum tersebut tiada.
Syarat Mengamalkan dengan istishab

Qaulu shahabiy

Syare’at Sebelum Kita
• Pangkal kesesuaian syare’at sebelum kita terletak pada permasalahan agama, bahwa ia merupakan din para nabi semuanya.
• Pangkal perbedaan syare’at sebelmkita terletak pada permasalahan hukum syare’at. Firman Allah (al Maidah :48)
• Syare’at islam itu menghapus syare’at-syare’at sebelum kita.
• Yang menjadikan perbedaaan pendapat dikalangan ahli ilmu adalah “apakah syare’at sebelum kita berlaku juga dalam syare’at kita?
Ada beberapa pendapat mengenai hal ini,
 Syare’at sebelum kita juga termasuk syare’at kita secara keseluruhan.
 Syare’at sebelum kita tidak termasuk syare’at kita secara keseluruhan.
 Syare’at sebelum kita ada yang termasuk syare’at kita dan ada yang memang tidak termasuk kita.

Hujah kelompok pertama :
1. Karena syare’at tersebut disyare’atkan sebelum kita dan ditetapkan dengan jalan yang benar.
2. Ada ketetapan bahwa syare’at tersebut juga terdapat disyare’at kita.

Hujjah kelompok kedua
1. Tidak ditetapkan dengan jalan yang shahih, seperti ditetapkan melalui cerita-cerita israiliyyat.
2. Adanya ketetapan bahwa syare’at sebelum kita dimansukh (hapus) dengan syare’at kita (al A’raf : 157)

Hujjah kelompok ketiga
1. Jika syare’a tersebut ditetapkan dengan jalan yang shahih, yaitu melalui kitab dan sunnah / hadits ahad yang riwayatnya shahih, maka syare’at tersebut berlaku pula dalam syare’at kita, akan tetapi jika tidak dengan jalur yang shahih berarti syare’at tersebut bukan termasuk dari syare’at kita.
2. Hendaknya didalam syare’at kita ada sesuatu yang menguatkan atau sebagai penetapan bagi syare’at sebelum kita, jika tidak ada berarti ia bukan termasuk dari syare’at kita.
3. Hendaknya dalam syare’at kita tidak ada sesuatu membatalkan atau menghapus bagi syare’at sebelum kita.

Hukum berhujjah dengan syare’at sebelum kita.
Ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berhujjah dengan syare’at sebelum kita, sedangkan mayoritas ahli ilmu berpendapat bahwa syare’at sebelum kita bisa dijadikan hujjah jika ada ketentuan-ketentuan seperti diatas (hujjah kelompok ketiga), ini adalah pendapat yang rajih dikalangan ahli ilmu.

Dan yang bisa menguatkan madzhab ini adalah bahwa Allah menuruklan kitab ini (al Qur’an) agar supaya kita mengamalkan hukum-hukumnya baik hal it syare’at sebelum kita atau tidak.

• Khilaf yang terdapat dalam syare’at sebelum kita adalah khilaf lafdli (ucapan) bukan khilaf secara makna.

Istihsan
Istihsan memiliki beberapa makna, sebagian maknanya shahih dan sebagian maknanya bathil.
Makna yang shahih yang sudah disepakati adalah merajihkan (menguatkan) dalil atas suatu dalil atau mengamalkan suatu dalil yang lebih kuat atau lebih hasan (baik).

Makna yang bathil misalnya seorang mujtahid yang membaguskan suatu dalil dengan pendapatnya sendiri, yaitu dengan hawa nafsunya tanpa didasari dengan dalil-dalil syar’i.

Pendapat Imam Syafi’I Tentang Istihsan
Imam syafi’I mengiingkari pengambilan dalil dengan istihsan dan beliau menolaknya, seperti perkataannya : Barang siapa yang beristihsan maka ia telah membuat syare’at.”

Maksud dari perkataan beliau ini bahwasannya pengingkaran beliau terhadap istihsan jika dalil istihsan tersebut tidak berdasarkan dalil-dalil syar’I, seperti al Qur’an, as Sunnah, Ijma’ dan kiyas.

Pendapat Abu Hanifah tentang Istihsan
Ada suatu perkataan yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah, yaitu perkataan bahwa Abu Hanifah menggunakan dalil istihsan tanpa didasari dengan ilmu, ini adalah perkataan yang bathil yangtidak sahih penisbatannya kepada beliau.
Yang mengatakan ini adalah Abu Yusuf, sabab bisa jadi ia tidak mengetaui kejadian sebenarnya, dan sunah / hukum dari as sunnah belum sampai kepada belia sehingga beliau mengatakan : لو رأى صاحبى ما رأيت لرجع كما رجعت

Maksud dari perkataannya bahwa Abu Hanifah menggunakan dalil istihsan yang berarti mendahulukan nash atas dalil kiyas, ini adalah suatu kebenaran. Beliau juga mengingkari pengambilan dalil degan istihsan yang bermakna mengamalkan ra’yu (apendapatnya semata) tatkal ada nash yang sharih.


Maslahah Mursalah
Pengertian
Yaitu sesuatu yang oleh syara’ belum ada hukum untuk mewujudkannya dan dianggap belum ada hukumya dengan dalil yang khusus.

Pembagian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut asal dan penjagaannya dibagi menjadi lima bagian, yaitu :
1. Maslahah yang dikembalikan untuk menjaga agama
2. Maslahah yang dikembalikan untuk menjaga jiwa
3. Maslahah yang dikembalikan untuk mekjaga akal
4. Maslahah yang dikembalikan untuk menjaga keturunan / nasab
5. Maslahah yang dikembalikan untuk menjaga harta
Hukum Berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Para ulama berbeda pendapat mengeai berhujjah dengan maslahah mursalah, jika ia termasuk dari bab mencari kemaslahatan dan menolak kerusakan maka ia bisa dijadikan hujjah.

Ketentuan berhujah dengan maslahah mursalah
1. Hendaknya maslahah mursalah tidak bertentangan dengan nash yang syar’I atau ijma’
2. Hendaknya maslahah mursalah dikembalikan kepada maksud syare’at yaitu demi penjagaan.
3. Hendaknya maslahah mursalah didalam hukum yang tidak bisa berubah.
4. Hendaknya maslahah mursalah tidak bertentangan dengan sesuatu yang lebih rajih darinya atau sama kedudukannya.

Dalil – Dalil Berhujjah Dengan Maslahah Mursalah
1. Para sahabat mengamalkannya diberbagai kejadian
2. Mengikuti kaidah “suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut menjadi wajib.”
Selesai hal 241


Naskh
Pengertian
Secara bahasa yaitu menukil atau menghapus
Secara istilah menurut ulama salaf artinya bayan (penjelasan)
Menurut Mutaakhirin (ahli ushul) adalah membatalkan pelaksanaan hukum syara' dengan dalil yang datang kemudian.

Syarat – Syarat Naskh
Ada beberapa syarat sahnya naskh, diantaranya adalah :
1. Hendaknya hakekat naskh dan maknanya ada dalam hukum tersebut.
2. Hendaknya yang menghapus hukum tersebut berupa wahyu baik dari al Qur'an ataupun as Sunnah.
3. Hendaknya hukum yang mengahapus itu muncul terakhir setelah ada hukum yang dinasakh.
4. Hendaknya mansukh (yang dinaskh) berupa hukum syar'I tidak berupa khobar.

Beberapa catatan
• Tidak boleh menasakh suatu hukum dengan bersandarkan ijma', Karena ijma' tidak berlaku kecuali setelah wafatnya Rasulullah.
• Jika didapati dalam perkataa ulama bahwa ijma' menasakh (menghapus) suatu hukum, maka yang dimaksud adalah menasakh dengan naah yang disandarkan kepada ijma', bukan karena ijma' semata.
• Naskh tidak boleh dengan kiyas
• Nasakh tidak bole dengan dalil-dalil akal.
• Tidak boleh menasakh mutawatir dengan ahad.

Hikmah Dari Naskh Dan Mansukh
• Bentuk rahmat Allah kepada makhluq-Nya, meringankan dan keluasan baginya.
• Memperbanyak pahala bagi orang-orang yang beriman dan mengagungkan mereka. Firman Allah az Zumar : 10
• Membedakan antara orang-orang yang kuat imannya dan yang lemah imannya.
• Tidaklah hukum tersebut menghapus hukum yang lain, kecuali ia lebih baik dari hukum yang dihapus. (al Baqarah : 106)

Pembagian Naskh
Naskh dibagi menjadi tiga bagian :
1. Naskh bacaan dan hukum secara bersamaan
Contoh : ayat yang mengharamkan tentang 10 saudara sesuan
2. Naskh bacaan dan hukumnya masih tetap
Seperti penghapusan ayat rajam.
3. Naskh hukum dan bacaannya masih tetap
Contoh seperti ini banyak ditemui dalam al Qur'an (al Baqarah : 184)

Dilihat dari segi dalilnya, naskh dibagi menjadi bermacam-macam bagian, ringkasnya ada dua bagian, yaitu :
1. bagian yang disepakati, diantaranya :
• Naskh Qur'an dengan Qur'an
• Naskh mutawatir dan ahad dengan hadits mutawatir
• Naskh hadits ahad dengan hadits ahad
2. Bagian yang masih diperselisihkan, diantaranya :
• Naskh Qur'an dengan hadits mutawatir (jumhur membolehkan)
• Naskh sunnah dengan al Qur'an (jumhur membolehkan)
• Naskh mutawatir dengan hadits ahad (jumhur tidak boleh)

Ta'arudl
Yang dimaksud dengan ta'arudl al adillah adalah dua nash yang kontradiktif menurut lahiriyyahnya, yaitu jika salah satu dalil bertentangan dengan dalil yang lain.

Beberapa pembahasan
• Kadang-kadang ta'arudl terjadi antara dua dalil secara kulli (semuanya) atau juz'I (sebagian). Maksudnya jika dalil yang bertolak belakang tidak memungkinkan untuk dijama' (digabungkan) maka yang demikian disebut ta'arudl kulli. Dan jika dalil yang bertolak belakang memungkin untuk dijama' (digabungkan) maka yang demikian disebut dengan ta'arudl juz'i.
• Kitabullah adalah kitab yang selamat / terbebas dari perbedaan dan perbedaan.
• Begitu juga dengan hadits nabi yang shahih, ia terbebas dari perselisihan dan perbedaan.
• Begitu juga halnya dengan kesepakatan ummat.
• Sedangkan kiyas, walaupun ia shahih tapi ia tidak selamanya mengandung perbedaan.
• Tidak mungkin dalil-dalil syar'I bertentangan dengan akal, bahkan akal yang sehat selalu ada kesesuaian dengan dalil nakl (nash).
• Jika ada dalil syar'I yang bertolak belakang yaitu dua khabar yang bertolak belakang dengan yang lain, maka bisa jadi salah satunya adalah bathil jika tidak ada ketetapan atau salah satunya dimansukh.
• Ta'arudl tidak akanterjadi diantara dua dalil yang pasti
• Jika nampak dua dalil yang bertentangan, maka yang wajib adalah memprioritaskan antara keduanya, yaitu dengan cara :
1. berusaha menjama' antara keduanya
2. jika tidak memungkinkan untuk dijama', maka dicari yang rajih dati keduanya. (dengan nasikh dan mansukh atau membawa mutlak kepada muqayyad).
3. jika tidak memungkin menjama' dan mentarjih diantara keduanya, maka bertawaquf (berhenti) diantara dua dalil tersebut dan berusaha mencari dalil yang lain.

Tarjih
Beberapa pembahasan dalam masalah tarjih
• maksud dari tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dengan dalil yang lain.
• tempatnya adalah dhany (dugaan).
• Tarjih tidak berlaku terhadap dua dalil yang bertentangan kecuali setelah menjama' (manggabungkan) diantara keduanya
• Tidak boleh meakukan tarjih kecuali dengan dalil.
• Tarjih bisa berupa dua dali nakli atau akli atau antara nakli dan akli
• Jika tarjih dengan dua dalil nakli, maka ia berkaitan dengan perkara dibawah ini :
1. berkaitan dengan sanad
2. berkaitan dengan matan
3. berkaitan dengan perkara diluar itu
• Jika tarjih dengan dua dalil akli, maka ia berkaitan dengan perkara dibawah ini:
1. sesuatu yang kembali kepada asal
2. far' (cabang)
3. perkara diluar itu
• Jika terjih dengan dua dalil antara akli dan nakli, maka harus ada penelitian terhadap dugaan yang lebih kuat.


Tartibul Adilah
Maksudnya adalah menjadikan setiap dalil menurut urutannya.

Beberapa pembahasan
• Dalil-dali syara' dibagi menjadi : dalil yang disepakati dan yang diperselisihkan, yang pasti dan yang masih dugaan, dalil akli dan nakli.
• Susunan dalil-dalil dari segi kedudukannya yaitu :
 Al Qur'an
 As Sunnah
 Ijma'
 Kiyas
• Dalil-dalil syara' baik yag disepakati atau diperselisihkan, itu kembali kepada dalil-dalil empat yang telah disepakati
• Dalil-dalil empat tersebut kembali kepada al Qur'an dan as Sunnah, dan semua dalil-dalil tersebut kembali kepada al Qur'an


Hukum Syar'i
Pengertian
Secara bahasa larangan, dikataka pula hukum.
Secara istilah menetapkan perkara untuk suatu perkara atau meniadakan darinya.
• Yang dimaksud dengan hukum syar'I dalam pembahasan ini adalah khitab (doktrin) syar'I dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf.
• Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seorang yang sudah baligh, berakal dan tidak ada paksaan.

Hukum Syar'I dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Hukum Taklifi
2. Hukum Wadl'I (positif).

Hukum Taklifi
Pengertian
Hukum taklifi adalah khitab (doktrin) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan atau pilihan.
Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklifi dibagi menjadi lima bagian, yaitu :
1. wajib : pujian bagi yang melakukannya dan celaan bagi orang yang meninggalkannya
2. mandub : pujian bagi yang melakukannya dan tidak ada celaan bagi orang yang meninggalkannya
3. haram : pujian bagi yang meninggalkannya dan celaan bagi orang yang melakukannya
4. makruh : pujian bagi yang meninggalkannya dan tidak ada celaan bagi orang yang melakukannya
5. mubah : sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan celaan dan pujian bagi yang melakukan atau meningglakannya.

Pembagian Wajib
1. Ditinjau dari segi dzatnya wajib dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
• Mu'ayyan contoh shalat, puasa dll
• Mubham contoh menunaikan kafarah (pilihan)
2. Ditinjau dari segi waktunya, wajib dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
• Wajib Mudlaya' contoh puasa ramadlan
• Wajib Muwasa' contoh shalat lima waktu
3. Ditinjau dari segi pelakunya, wajib dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
• Wajib a'in, contoh : shalat dan puasa
• Wajib kifayah, contoh : shalat jenazah

Haram
Lafalz Yang Menunjukkan Keharaman
Biasanya lafalz yang menunjukkan keharaman menggunakan :
• Larangan yang jelas tentang keharamannya,
• Adanya ancaman bagi pelakunya,
• Adanya celaan bagi pelakunya dan
• Mewajibkan kafarat bagi yang melakukannya.
• Lafalz لا ينبغى dalam bahaya al Qur'an atau sunnah menunjukkan larangan secara syara' dan akal.
• Menggunakan lafalz "tidak halal" atau "tidak baik."

Mandub
• Mandub dinamakan juga dengan sunnah, mustahab (anjuran), tathawu', nafilan, kurbatan, muraghaban fih (dicintai) dan ikhsan (baik).
• Mandub adalah sesuatu yang diperintahkan akan tetapi perintah ini tidak menunjukkan suatu kewajiban / keharusan.
• Mandub boleh ditinggalkan akan tetapi tidak boleh ada keyakinan harus ditinggalkan.

Mubah
• Lafalz yang menunjukkan kebolehan, diantaranya ialah :
 Menggunakan lafalz kehalalan
 Mengangkat dosa (tidak ada dosa)
 Menggunakan lafalz izin (telah diizinkan)
 Menggunakan lafalz "dimaafkan."
 Menggunakan bentuk pilihan.
• Mubah adalah suatu perkara yang tidak diperintahkan (jumur ulama) dan sebagian yang lain mengatakan bahwa ia merupakan perkara yang diperintahkan.
• Asal dalam suatu perkara setelah datangnya Rasul dan adanya syari'at adalah ibahah (boleh).
Firman Allah : al Baqarah : 29
Ibnu Abbas berkata : وما سكت عنه فهو مما عفا عنه
• Jika didalam syar'at tidak ada yang menghalalkan atau mengharamkan dan tidak disyare'atkan, maka yang wajib adalah tawaquf.

Hukum Wadl'I (Hukum Positif).
Pengertian
Hukum wadl'I adalah khitab (doktrin) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa ketetapan, pilihan atau tuntutan.

Pembagian Hukum Wadl'I
Hukum wadl'I dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Sebab
Sebab adalah sesuatu yang dengannya mengharuskan adanya hukum dan jika tidak adanya dia tidak adanya hukum.
2. Syarat
Syarat adalah sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pada adanya sesuatu itu, dan tidak adanya menjadikan tidak adanya hukum, dan keberadaannya berada diluar sesuatu yang disyaratkan.
3. Penghalang
Penghalang adalah sesuatu yang dengan adanya dia mengharuskan tidak adanya hukum.

Perbedaan Antara Hukum Wadl'i Dan Hukum Taklifi
1. dalam hukum taklifi disyaratkan untuk berilmu dan mampu untuk melakukan suatu perintah seperti puasa, shalat dll. Sedangkan hukum wadl'I tidak ada syarat – syarat taklif, seperti anak yang belum baligh.
2. sesungguhnya hukum taklifi merupakan bentuk perintah dan tuntutan, sedangkan hukum wadl'I berbentuk pengkhabaran.

Sihah dan Fasad (sah dan batal)
• Makna sah dalam ibadah adalah gugurnya suatu tuntutan, maknanya bahwa ia (mukallaf) tidak harus mengulangi lagi ibadahnya dan ia akan mendapatkan balasan (pahala) dari ibadahnya tersebut. (Perbuatan itu telah dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syara' dan apa yang disyari'atkannya)
• Makna sah dalam mu'amalah adalah pebuatan mukallaf itu mempunyai pengaruh apa yang dimaksud oleh mu'amalah, seperti saling memberikan manfa'at dalam jual beli.

Rukhsah dan Azimah
• Azimah adalah hukum yang ditetapkan dengan dalil syar'I yang terbebas dari pertentangan dengan dalil yang lebih rajih, hukum aimah ini mencakup hukum wajib, mandub, mubah, makruh dan haram, jika semuanya itu ditetapkan dengan dallil syar'i.
• Rukhshah adalah hukum yang tetap yang menyelisihi dalil syar'I karena ada dalil lain yang lebih rajih.
• Kadang-kadang rukhsah itu menjadi wajib, seperti memakan bangkai bagi orang yang sangat terpaksa.
• Kadang menjadi mandub seperti mangqashar shalat bagi seorang musafir (menurut jumhur ulama).
• Kadang menjadi mubah seperti menjama' dua shalat selain di Arafah dan muzdalifah (menurut jumhur ulama)

Taklif
Pengertian Taklif
Secara bahasa mengharuskan sesuatu untuk terbebani
Secara istilah melazimkan terhadap tututab khitab syara'
Yang dimaksud dengan tuntutan khitab syara' adalah perintah, larangan dan bentuk ibahah (pembolehan).

Syarat-Syarat Perbuatan Seorang Mukallaf
Disyaratkan didalam perbuatan seorang mukalaf adalah :
1. Hendaknya perbuatan tersebut ma'dum (tidak wujud).
2. Hendaknya perbuatan yan gdibebankan seorang mukallaf harus berupa sesuatu yang mungkin .

Perbuatan yang dibebankan manusia, tidak lepas dari empat macam yaitu :
1. Perbuatan / pekerjaan yang jelas, seperti shalat
2. perbuatan lisan yaitu perkataan
3. tarku (meninggalkan) yaitu mencegah diri dari sesuatu yang dilarang.
4. niatan untuk melakukan suatu perbuatan.

Syarat – Syarat Bagi Seorang Mukallaf
1. Berakal
2. Paham dengan khitab (doktrin), keluar dari syarat ini adalah orang gila dan anak kecil, karena keduanya belum paham terhadap khitab syar'I, diantaranya pula orang yang lupa, pingsan, tidur dan mabuk.
Hal : 352

Pasal 2
Dalil – Dalil Lafalz Dan Metode Mengambil Kesimpulad
1. Aspek Bahasa
2. Nash, Dhahir, Mu’awal, Mujmal dan Bayan
3. Perintah, Larangan, Aam dan Khas, Mutlaq dan Muqayyad, Manthuq dan Mafhum.

Aspek Bahasa
Kaitan Bahasa Arab dengan Syara’
1. Sesungguhnya al Qur’an dan as Sunnah menggunakan bahasa arab
Maka al Qur’an diturunkan dengan bahasa arab, firman Allah (Yusuf : 2)
Rasulullah juga dari bangsa arab yang fasih berbahasa arab
2. Sesungguhnya makna-makna dalam al Qur’an ada kesesuaian dengan makna bahasa arab, seperti dalam bahasa arab ada aam dank has begitu juga dengan bahasa al Qur’an.
3. Sesungguhnya pemahaman yang dimaksudkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu berpijak kepada pemahaman bahasa arab dan mengetahui ilmunya., oleh karena itu hendaknya setiap muslim mempelajari bahasa arab untuk menegakkan agamanya.

• Lafalz dibagi menjadi empat bagian :
1. Hakekat lughah seperti lafalz asad (singa), secara bahasa ia adalah binatang buas, tapi jika digunakan untuk makna lain / majaz, maka ia berarti seorang pemberani
2. Hakekat syara’ contohnya lafalz shaum (puasa) dan haji
3. Hakekat kebiasaan, jika lafalz tersebut sering digunakan dan menjadi adapt kebiasaan, maka ia menjadi lafalz adat.
4. Majaz

Pendahuluan
Bahwa kalam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
• Nash
• Dhahir
• Mujmal

Nash
Pengertian
Nash sesuatu yang tidak mencakup kecuali satu makna
Suatu lafalz yang berfaedah untuk dirinya sendiri dan tidak menerima makna yang lain. Contoh : firman Allah (ql Baqarah : 196)
Hukumnya : diamalkan menurut arti yang ditunjukkan sampai ada dalil yang memansukhnya.

Dhahir
Pengertian
Sesuatu yang mengandung dua makna atau lebih yang salah satunya lebih rajih (kuat).
Misal : lafalz "asad" (singa), secara dhahir ia berarti binatang buas, tapi ia juga mengandung makna sorang yang pemberani.
Hukumnya : diamalkan menurut makna dhahir.
Dan tidak boleh dibawa makna yang lain kecuali ada dalil yang lebih kuat yang bisa merubah lafalz dhahir kepada makna yang marjuh, inilah yang dimaksud dengan ta'wil.

Al Mu'awwal
Ta'wil memiliki tiga makna :
1. makna menurut salaf : hakekat yang bisa merubah suatu perkara.
2. masih menurut salaf : berarti tafsir atau bayan.
3. menurut ahli ushul : merubah lafalz dari yang rajih kepada yang marjuh disertai dengan dalil yang menunjukkan tentang hal itu.
Macam – Macam Ta'wil
1. Ta'wil Shahih wal Qarib : Merubah lafalz dari dhahirnya dengan disertai dalil yang shahih
Contoh seperti ta'wil makna ayat : إذا قمتم إلى الصلاة maksudnya apabila kalian ingin menegakkan shalat.
2. Ta'wil al Fasid aw al ba'id : merubah lafalz dari dhahirnya karena ada perkara yang dikira bisa merubah dalil tersebut, padahal sebenarnya ia bukanlah dalil dalam perkara tersebut. Contoh ta'wil sabda Rasulullah :
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل
Yang dimaksud dengan perempuan dalam hadits tersebut adala perempuan yang yang masih kecil.
3. Ta'wil la'ib : merubah lafalz dari dhahirnya bukan karena ada dalil yang asli, seperti sebagian orang Syi'ah yang menta'wil firman Allah :
إن الله يأمركم أن تذبخوا البقرة
Mereka mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah 'Aisyah.

Syarat – Syarat Ta'wil Shahih
Ta'wil yang shahih memiliki 4 syarat, yaitu :
1. Hendaknya lafalz tersebut mengandung makna lafalz yang dita'wil dalam bahasa Arab.
2. Jika lafalz tersebut sudah mengandung lafalz yang dita'wil, maka harus ada dalil yang bisa mengaitkan makna tersebut. (disertai dengan adanya dalil).
3. Menetapkan keabsahan dalil yang digunakan untuk merubah lafalz dari hakekatnya (dhahirnya).
4. Hendaknya dalil yang digunakan untuk merubah lafalz dari dhahirnya selamat dari pertentangan.

Perbedaan Antara Ta'wil Shahih Dengan Ta'wil Yang Bathil
• Ta'wil shahih : ta'wil yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh nash-nash syar'I, dan yang sesuai dengan apa yang ada dalam as Sunnah.
• Ta'wil bathil : ta'wil yang menyelisihi nash-nash syar'I yaitu al Qur'an dan as Sunnah.
Wajib mengamalkan dhahir al Kitab dan as Sunna kecuali ada dalil yang menunjukkan perubahannya.
Jika dalam ta'wil tidak ditemukan dalil yang shahih, maka dilarang untuk menta'wil lafalz dari dhahirnya, dan wajib untuk menol;ak ta'wil tersebut.

Al Mujmal
Pengertian Mujmal
• Menurut salaf: Sesuatu yang tidak cukup untuk mengamalkannya secara sendirian. (suatu lafalz yang maknanya tidak bisa dipahami secara sendirian).
Seperti firman Allah (at Taubah : 103), maka perintah bershadaqah itu untuk mensucikan dan membersikan diri mereka, dan hal ini tidak bisa dipahami kecuali dengan keterangan Rasulullah.
• Menurut Ahli Ushul : Sesuatu yang mengandung dua makna atau lebih da tidak bisa diketahui makna yang rajih diantara keduanya.
Contoh lafalz Qur'u, lafal ini mengandung dua makna yaitu haidl dan suci

Hukumnya : tawaquf sehingga ada keterangan yang menjelaskan maksud makna tersebut, dan tidak boleh mengamalkan salah satu diantara keduanya kecuali disertai dengan dalil yang shahih, oleh karena itu ia membutuhkan penjelasan (bayan).

Al Bayan
Pengertian Bayan
Al Bayan : penjelasan. Dan hasil dari penjelasan tersebut dinamakan dalil. Sedangkan maksudnya adalah setiap sesuatu yang bisa menghilangkan perkara yang musykil. Masuk dalam kategori ini adalah taqyid, takhsis, naskh dan ta'wil.

Cara untuk mengetahui bayan :
1. Dengan firman Allah atau sabda Rasulullah
2. dengan perilaku, isyarat, penetapan, tarku (meninggalkan) dan diamnya Rasulullah.
Hal – Hal yang berkaitan dengan cara untuk mengetahui bayan ada dua hal :
• Bayan itu boleh lebih lemah derajatnya daripada lafalz yang dijelaskan, maka hadits ahad boleh menjadi bayan (penjelas) bagi hadits mutawatir.
• Didalam bayan semua 00mukallaf tidak disyaratkan untuk mengetahui semuanya dalam satu waktu.

Hukum Mengakhirkan Bayan Dari Waktu Hajjah (sewaktu dibutuhkan)
• Tidak boleh mengakhirkan bayan tatkala dibutuhkan waktu itu, karena yang demikian membuat seseorang tidak kuasa / mampu untuk melakukannya
• Sedangkan mengakgirkan bayan dari waktu khitab (pendoktrianan) maka hal ini diperbolehkan menurut jumhur ulama.
• Wajib menyegerakan jika khawatir hilangnya waktu sehingga kewajiban tersebut tidak ditinggalkan.

Beberapa faedah :
• Sesuatu yang sudah jelas keterangannya, maka menyelisishinya adalah haram., karena hal itu termasuk dari perilakau tadlis dan menyembunyikan yang haq, sedangkan yang termasuk dalam cakupan ini adalah : penetapan dengan kebenaran, kesaksian, fatwa, riwayat hadits, dan keputusan.
Selesai hal : 392


PERINTAH DAN LARANGAN
PERINTAH
Perintah adalah permintaan untuk dilaksanakan dari atasan kepada bawahan terhadap suatu perkara yang harus dikerjakan.

Bentuk Perintah
Para ulama sepakat bahwa shighat (bentuk) perintah ada dua :
1. افعل (untuk yang hadlir)
2. لايفعل (untuk hal yang ghaib)
3.
Perintah menunjukkan akan wajibnya
Jika shighat (bentuk) perintah mutlak dengan tanpa adanya sesuatu yang mengiringinya, maka ia berfaedah wajib. Ini adalah madzhab salaf dan jumhur.

Dalilnya adalah firman Allah : al Ahzab : 36
Rasulullah bersabda :
لولا أن أشق على أمتى لأمرتهم بالسواك مع كل صلاة
Sebenarnya perintah ini menunjukkan kewajiban, kalaulah bukan karena Rasulullah khawatir memberatkan kepada ummatnya, niscaya hal ii diwajibkan kepada ummatnya.
Kadang-kadang pula bentuk perintah ini menunjukkan makna yang lain, seperti :
• menunjukkan makna anjuran (an nur : 33)
• menunjukkan makna mubah (al Maidah : 2)
• menunjukkan makna tahdid (fishilat 40) dan lain sebagainya. (hal : 398-399)

Dalil perintah yang mengharuskan untuk segera dilaksanakan.
jika perintah tersebut tidak diiringi dengan sesuatu, maka ia menujukkan harus segera dilaksanakan. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Qoayyim dan Ibnu Najjar serta imam as Syanqithi.
Dalilnya :
1. dhahir nash menunjukkan akan hal itu (ali Imran : 148)
2. bentuk bahasanya juga munukkan untuk segera dilaksanakan, karena seorang tuan apabila menyuruh kepada budaknya, dan dibudak tidak bersegera untuk melaksakannya, maka ia akan memberikan sanksi kepada budak tersebut.
3. Sesungguhnya untuk endapatkan keselamatan dari bahaya dan terlepas dari tanggungan itu bisa dilakukan dengan melaksanakan perintah dengan segera.

Dalil perintah yang menunjukkan atas pengulangan
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini,
1. Ada yang mengatakan bahwa perintah yang mutlak tidak menuntut pengulangan, akan tetapi ia sudah terbebas dari perintah tersebut apabila ia sudah melakukan perintah walau hanya sekali.
2. dikatakan pula bahwa perkara yang mutlak itu menuntut untuk adanya pengulangan. Pendapat ini dianut oleh Imam Ibnu Qayyim.
Beliau berdalil sesungguhnya secara umum perintah syara' itu menunjukkan dan menuntut untuk adanya pengulangan, seperti firman Allah :
وءامنوا بالله ورسوله

Apakah perintah mengharuskan akan adanya kehendak?
Hakekatnya iradah dibagi menjadi dua macam :
1. iradah qadariyah kauniyyah, ini adalah kehendak yang mencakup seluruhnya, seperti firman Allah إن الله يفعل ما يريد ini mengaruskan adanya mehabbah dan ridla-Nya.
2. Iradah Diniyyah Syar'iyyah kehendak ii mengandung mahabatullah dan ridla-Nya, seperti firman Allah والله يريد أن يتوب عليكم , akan tetapi kehendak ini kadang terjadi dan kadang tidak terjadi
Maka perintah Allah mengharuskan adanya Iradah Syar'iyyah dan tidak mengharuskan adanya Iaradah Kauniyyah.
Hikmahnya : untuk menguji seseorang agar bisa dibedakan antara yang benar-benar ta'at dan tidak.

Apakah perintah kepada Sesutu menunjukkan larangan dari kebalikannya?
• Dari segi bahasa bahwa perintah kepada sesuatu tidak menunjukkan larangan dari kebalikannya, karena lafalz larangan itu tidak seperti lafalz perintah.
• Dari segi makna bahwa printah terhadap sesuatu menunjukkan larangan dari kebalikannya.


LARANGAN
• larangan adalah permintaan terhadap sesuatu untuk ditinggalkan.
• Secara dhahirnya larangan menunjukkan keharaman.
• Shighat larangan menggunkan lafaz لا تفعل
• Sesungguhnya larangan menuntut akan adanya pengulangan dan segera ditinggalkan.
• Larangan menunjukkan akan rusaknya sesuatu yang dilarang. (hal : 406)

Sesungguhnya perkara untuk diperintahkan itu lebih agung daripada perkara untuk meninggalkan.
• Sesungguhnya meninggalkan sesuatu yang diperintahkan itu lebih besar bahayanya daripada mengerjakan perkara yang dilarang
• Sesungguhmnya mengerjakan perkara yang diperintahkan itu lebih besar pahalanya daripada meninggalkan perkara yang diharamkan.
• Sesungguhnya sanksi meninggalkan perkara yang diperintahkan itu lebih besar daripada sanksi atas mengerjakan perkara yang diharamkan. (hal : 407)

Hal itu dikarenakan sebab-sebab sebagai berikut :
1. sesungguhnya dosa maksiat yang dikerjakan moyang jin lebih besar dan lebih dahulu daripada dosa maksiat dari moyang manusia. Dosa moyang jin (iblis) adalah meninggalkan perkara yang diperintahkan yaitu sujud karena enggan dan sombong, sedangkan dosa moyang manusia adalah dosa kecil yaitu mengerjakan perkara yang dilarang (memakan buah terlarang) kemudian ia bertaubat.
2. sesungguhnya dosa mengerjakan perkara yang dilarang itu bersumber dari hawa nafsu dan kebutuhan, sedangkan meninggalkan perkara yang diperintahkan bersumber dari sifat sombong.
3. Sesungguhnya tujuan diutusnya rasul adalah untuk menta'atinya, dan tujuan ini tidak akan bisa tercapai kecuali dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, baru kemudian meninggalkan apa yang dilarang.


'Amm dan Khas
Pengertian 'Amm
Menurut bahasa as Syamil "mencakup seluruhnya."
Secara istilah ushul fiqh adalah sesuatu yang mencakup untuk melengkapi satuan-satuannya yang dapat masuk kedalamnya tanpa ada pembatas.

Shighat (bentuk) lafalz 'Amm
Maksudnya adalah lafalz-lafalz yang menunjukkan kesempurnaannya dan mencakup susunan kalimat bahasa arab.

Sedangkan shighat 9betuk) 'Amm itu ada 5 bagian :
1. Setiap isim yang diketahui dengan ال , yang demikian ini mencakup tiga macam :
• Lafalz-lafalz plural (jama') seperti lafalz المشركين ، المسلمين
• Isim yang menunjukkan jenis seperti الناس ، الحيوان dll
• Lafalz yang menunjukkan satuannya seperti السارق ، الإنسان dll
2. Sesuatu yang disandarkan terhadap tiga macam seperti diatas, contoh مال زيد ، عبد زيد dll.
3. Isim syarat, seperti
• من untuk yang berakal (at thalaq : 3)
• ما untuk sesuatu yang tidak berakal (al Baqarah : 197)
• أي seperti sabda Rasulullah :
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل.
4. كل ، جميع seperti firman Allah : al Imran : 185, al Ankabut : 57
5. Nakirah di dalam bentuk nafi, contoh firman Allah al Baqarah : 255

Khitab yang ditujukan kepada Rasulullah, maka hal itu berlaku umum (untuk ummatnya) dan mengikutinya selagi tidak ada dalil yang mengkhususkan. Oleh Karena itu para Sahabat selalu merujuk kepada perilaku Rasulullah jika terjadi perselisihan diantara mereka dalam perkara hukum.

Ibnu Taimiyyah berkata : "Jumhur ulama dari Ummat ini berpendapat bahwa jika Allah memerintahkan kepada Rasulullah terhadap suatu perkara atau melarang dari suatu masalah, maka ummatnya harus mengikutinya selagi tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya."

Apakah seorang wanita dam budak masuk dalam khitab 'Amm?
Dalam masalah ini ada beberapa pendapat, diantaranya :
• Mereka sepakat bahwa wanita masuk dalam khitab 'Amm jika maknanya mencakup untuk rijal (laki-laki) dan nisa' (perempuan), seperti lafalz "ياأيها الناس"
• Mereka sepakat bahwa wanita tidak masuk kedalam cakupan makna rijal jika ada lafalz yang mengkgususkannya .
• Mereka berbeda pendapat apakah seorang budak masuk dalam khitab 'Amm, yang shahih bahwa ia masuk kedalam khitab 'Amm kecuali ada dalil yang mengkhususkannya, sebab budak juga masuk dalam cakupan ummat yang dibebani dengan taklif, ia tidak keluar dari keumuman lafals kecuali jika ada dalil yang mengkhususkannya.

Dalil – Dalil 'Amm di antara yang Qath'I dan Dhany.
Para ulama sepakat bahwa dalil 'Amm menunjukkan hukum pasti (qathi'i) menurut asal maknanya, dan berbeda pendapat terhadap satuannya, menjadi dua perkataan :
• Pendapat pertama : bahwa dalil-dalil 'Amm yang menunjukkan satuannya adalah dhany secara dhahirnya.
• Pendapat kedua bahwa ia tetap menjadi hukum pasti (qath'i).

Selesai hal : 395 - 420

TAKHSIS
Pengertian
Takhsis adalah mengkhususkan lafalz aam dengan sebagian satuannya disertai dengan dalil yang menunjukkan pengkhususan tersebut.

Hukumnya : ijma' sepakat bahwa lafal aam bisa ditakhsis dari segi jumlah.
Ibnu Qudamah berkata : Kami tidak mengetahui adanya perbedaan tentang bolehnya mentaksis lafalz yang masih umum.

Syarat Takhsis
Kaidah umum menyebutkan : "Sesungguhnya (takhsis) tidak sah, kecuali dengan dalil yang shahih."
Imam Syanqithi berkata : "Telah ditetapkan dalam kaidah ushul bahwa tidak mugkin mentakhsis 'aam kecuali ada dalil yang bisa dibuat rujukan …dst."

Atsarnya / Pengaruhnya
Wajib mengamalkan dalil yang sudah ditakhsis – jika dalil tersebut sah – dan tidak boleh mengamalkan lafalz aam atas keumumannya jika dalil tersebut telah distakhsis .

Perbedaan antara Takhsis dengan Naskh (hal : 421 – 422)



Mukhasishat
Mukhasishat adalah dalil dari takhsis, ia terbagi menjadi dua macam :
1. Mukhaishat al Munfashilah
Seperti : perasaan, akal, ijm'a, perkataan sahabat, kiyas, mafhum dan nash.
Maksud dari Mukhasishat al Munfashilah Yaitu sesuatu yang bisa berdiri sendiri tanpa adanya lafalz aam, yang demikian itu hendaknya tidak ada kaitannya dengan kalam yang lain.

2. Mukhasishat al Muttasilah
Seperti : itstisna' (pengecualian), syarat, sifat, ghayah (tujuan) dan badl.
Yang dimaksud dengan Mukhashis Munfashil adalah sesuatu yang tidak bisa berdiri dengan sendirinya, akan tetapi ia harus dikaitkan dengan kalam yang lain.

Point Tambahan :
• Contoh takhsish dengan perasaan (khisi) seperti firman Allah :
وأوتيت من كل شيء maka sesungguhnya seluruh dunia menyaksikan dengan khisi (perasaan) bahwa sebagiannya masih belum dimiliki oleh ratu saba' seperti singgasana Sulaiman.
• Dalil akal ada dua bagian
1. akal yang menyelisihi syara', maka akal ini terbebas dari tanggungan. Maka tidak boleh mentakhsis dalam perkara ini. yang demikian itu dikarenakan akal beristidlal tatkala ia tidak menemukan dalil syar'I, akan tetapi jika telah ada dalil syar'I, maka dalil akal menjadi gugur dan harus mengikuti dalil syara'.
2. akal yang tidak boleh menyelisihi syara', seperti yang ditunjukkan akal dari meniadakan bahwa sifat Allah adalah makhluq, yang demikian diperbolehkan untuk mentakhsis dengan hal ini. Seperti firman Allah :
الله خالق كل شيء ini adalah lafalz yang masih umum, yang dimaksud dalam ayat tersebut bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, kecuali sifat-Nya, karena akal menunjukkan bahwa Allah tidak menciptakan siafat-Nya.
• Maksud dari takhsis dengan ijma' adalah yang disandarkan kepada kesepakatan ijma'.
• Maksud dengan perkataan shahabat yang bisa mentakhsis keumuman lafalz adalah yang memiliki hukum dan yang tidak berdasarkan pendapat (ra'yu) semata. Takhsis dengan qaul shahabat masih ada khilaf dikalangan para ulama.
• Qiyas yang qath'I bisa dijadikan takhsis, sedangkan kiyas dhani masih ihtimal (keraguan).
• Mafhum Muwafaqah bisa dijadikan takhsis, sedangkan mafhum mukhalaf masih ihtimal (ada keraguan dalam maknanya) untuk dijadikan takhsis.
• Diperbolehkan takhsis qur'an dengan Sunnah.
Sebab tidak ada perbedaan diantara keduanya, sehingga diperbolehkan takhsis kitab dengan suannah, atau sebaliknya, dan tidak ada perbedaan antara mutawatir dan ahad, sehingga diperbolehkan takhsis mutawatir dengan ahad.
Imam as Syanqithi berkata : "Ketahuilah, bahawasannya diperbolehkan mentakhsis mutawatir dengan khabar ahad, karena takhsis termasuk dari bayan, sebagaimana yan gtelah dikemukakan bahwa mutawatir dijelaskan dengan ahad, baik al Qur'an atau as Sunnah.
Begitu juga diperbolehkan mentakhsis as Sunnah dengan al Kitab, sebagaimana yang telah disebutkan di pemabahasan yang telah lalu, berbeda dengan orang yang melarangnya, mereka berhujjah dengan firman Allah : an Nahl : 44 dan 89.
• Itstisna' (pengecualian) bisa menjadi mukhasis dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1. hendaknya itstisna' dan itstisna' minhu (yang dikecualikan) itu terdiri dari satu kalam yang bersambung antara satu dengan yang lain. dan tidak boleh ada kalam lain yang memutus kalam tersebut.
2. Hendaknya itstisna; tersebut bersambung, yaitu hendaknya setelah huruf "illa" merupakan bagian dari kalam sebelumnya.
3. hendaknya yang dikecualikan tersebut lebih sedikit dari setengahnya, ini seperti yang dinukil oleh ahli ilmu.

• Syarat, sifat, badal dan ghayah (tujuan akhir) semuanya termasuk dari mukhasishat muttasilah (yang bersambung), sedangkan ia dihukumi sebagaimana hukum itstisna'.
• Yang dimaksud dengan syarat dalam pembahasan ini adalah syarat secara bahasa, seperti firman Allah : (an Nisaa' : 11)
• Yang dimaksud dengan sifat dalam pembahasan ini adalah sesuatu yang lebih umum dari sifat yang dikenal oleh ahli nahwu, baik berupa sifat sebagai na't, athaf, bayan ataupun hal (keadaan). Seperti firman Allah من فتيتكم المؤمنات
• Contoh dari badl (badl ba'd min kul) adalah firman Allah :
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
• Yang dimaksud dengan ghayah (tujuan akhir) dalam pembahasan ini adalah hendaknya ia berada setelah lafalz aam berupa hurf dari huruf-huruf ghayah, seperti حتى sebagaimana firman Allah : ولا تقربوهن حتى يظهرن
• Khas yang didahulukan atas aam berfaedah mengkhususkannya, dan aam dibiarkan dengan keumumannya jika tidak didapati sesuatu yang mengkhususkannya.
• Diantara dalil-dalil yang menunjukkan khas didahulukan atas aam secara mutlak di semua keadaan adalah :
1. Sesungguhnya para Sahabat dahulu mendahulukan khas atas aam, dan mereka tidak melihat kepada tarikh (masa) dan tidak memisahkannya.
2. Sesungguhnya dalil-dalil khas itu lebih kuat daripada dalil aam. Sebagaimana yang dikemukakan al Khatib al Baghdadi (al Fiqh al Muttafiqah : 1/107)

Mutlaq dan Muqayyad
Pengertian Mutlak dan Muqayyad
Mutlak adalah lafalz yang mencakup untuk satu perkara yaitu hakekat yang mencakup untuk semua jenisnya.
Maknanya adalah :
1. sesungguhnya mutlak mencakup untuk satu perkara, maka yang dikeluarkan adalah lafalz adad (bilangan) karena lafal tersebut bisa mencakup lebih dari satu, begitu juga dengan aam.
2. Sesugguhnya yang dicakup oleh mutlak adalah mubham, yaitu sesuautu yang diambil dari keterkaitannya "tidak mencakup dengan sendirinya."
3. Mutlak berbeda dengan Musytarak dan wajib mukhayyar.

Muqayyad adalah sesuatu yang mencakup hal yang telah ditentukan atau belum ditentukan dengan adanya sifat yang bisa menambah hakekatnya dalam jenisnya
Contoh mutlak adalah lafalz "raqabah (budak)" dalam firman Allah : فتحرير رقبة
Sedangkan missal dari muqayyad seperti firman Allah فتحرير رقبة مؤمنة jadi budak didalam contoh mutlak masih di ikat lagi dengan lafalz mukminah (yang beriman).


Lafalz Mutlak dibawa kepada Muqayyad
• Maksudnya adalah lafalz mutlak terdapat di suatu kalimat sedangkan lafalz muqayyad terdapat didalam kalimat yang lain
• Maknanya hendaknya muqayyad sebagai hakim (yang menghukumi) atas mutlak, sebagai penjelas baginya dan sebagai pengikat dari kemutlakkannya
• Jika mutlak dan muqayyad berkumpul dalam satu tempat atau dalam satu kalimat, sebagiannya berambung dengan sebagian yang lain, maka tidak ada perbedaan bahwa mutlak harus dibawa kepada muqayyad.
• Wajib mengamalkan nash yang mutlak jika menunjukkan kepada kemutlakkannya dari satu segi.
• Wajib pula mengamalkan nash yang muqayyad jika menunjukkan keterikatannya dari satu segi
• Tidak boleh menyelisihi kaidah ini kecuali dengan dalil yang menunjukkan taqyidul mutlak (mengikat sesuatu yang mutlak) atau memutlakkan sesuatu yang muqayyad.
• Disyaratkan dalam mengamalkan mutlak atas muqayyad yaitu dengan adanya dalil yang shahih yang menunjukkan taqyidul mutlak atas muqayyad (mengikat sesuatu yang mutlak).
• Dan diperbolehkan pula :
1. Mengikat al Kitab dengan kitab
2. kitab dengan sunah
3. sunnah dengan sunnah
4. sunnah dengan kitab
5. kitab dan sunnah dengan kiyas
6. mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah
7. perbuatan nabi dan penetapannya
8. madzhab shahabat dan yang lainya.

Yang demikian itu karena muqayyad merupakan penjelas (bayan) bagi mutlak, sedangkan tidak disyaratkan bagi penjelas (bayan), kedudukannya lebih kuat dari yang dijelaskan, akan tetapi ia cukup dengan keterangan yang jelas dan shahih.


Manthuq dan Mafhum
Pengertian Manthuq
Manthuq adalah sesuatu yang menunjukkan lafalz ditempat pembicaraan.

Macam – Macam Manthuq
Manthuq dibagi dua macam :
1. Sharih yaitu makna yang diletakkan didalam lafaznya, ini juga dinamaka dalalah muthabiqah.
2. Ghairu Sharih yaitu makna yang tidak ditempatkan didalam lafalzya, ini juga dinamakan dalalah iltizam.
Pembagian manthuq ghairu sharih
Manthuq ghairu sharih dibangi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Dalalah iqthidla' : kalimat yang mengandung dhamir yang mengharuskan untuk ada takdirnya, karena kalam tidak bisa tegak kecuali dengan adanya dia.
Contoh : واسئل القرية maksudnya adalah ahli qoryah (penduduknya).
2. Dalalah Isyarah : hendaknya lafalz tersebut menunjukkan makna yang tidak dimaksud secara asli, akan tetapi ia menunjukkan maksud yang dituju.
Contohnya firman Allah وحمله وفصاله ثلاثون شهرا dengan firman Allah
وفصاله فى عامين
3. Dalalah tanbih disebut pula ima’ : hendaknya hokum tersebut disertai dengan sifat. Contoh firman Allah : إن الأبرار لفى نعيم

Mafhum
Mafhum adalah sesuatu yang menunjukkan lafalz tidak ditempat pengucapannya.
Mafhum ada dua bagian :
1. Mafhum Muwafaqah
2. Mafhum Mukhalafah

Mafhum Muwafaqah
Pengertian
Yaitu sesuatu yang didiamkan tersebut sesuai dengan yang diucapan didalam hukum. Disebut juga dengan fahwul khitab, lahnul khitab, kiyas jali dan tanbih.
Mafhum muwafaqah bisa dijadikan hujjah menurut kesepakatan ulama salaf.
Contoh firman Allah فلا تقل لهما أف mafhum muwafaqahnya adalah haram memukul seorang ibu, karena hal itu lebih daripada hanya mengatakan uh..
Syarat mengamalkan mafhum muwafaqah :
1. faham dengan makna didalam lafalz yang di ucapkan
2. hendaknya mafhum (lafalz yang dipahami) lebih utama hukumnya daripada lafalz yang diucapkan, atau ada kesamaan hukum.
3. hendaknya hukum tersebut dipahami dari bentuk perkataan dan sesuatu yang menyertainya.

Mafhum Mukhalafah
Pengertian
Sesuatu yang didiamkan itu menyelisihi dari lafalz yang diucapkan didalam suatu hukum.
Pembagian
Mafhum mukhalafah dibagi menjadi enam bagian :
1. mahfum sifat
contoh sabda Rasulullah : فى شائمة زكاة (wajib zakata bagi binatang yang digembalakan) mafhum mukhalafahnya tidak wajib zakat bagi hewan yang tidak digembalakan.
2. Taqsim (bagian)
Sabda Rasulullah الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر
3. Mafhum syarat. Contoh firman Allah :
         
4. Mafhum Ghayah (tujuan).
Contoh firman Allah :
           
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.

5. Mafhum ‘adad (jumlah)
Contoh firman Allah :
  
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera

6. Mafhum laqab (pemahaman dengan julukan).
       …… "
Semua Mafhum mukhalafah bisa menjadi hujjah menurut mayoritas ulama kecuali mafhum laqab.

Syarat mengamalkan mafhum mukhalafah
Hendaknya lafalz yang diucapkan tersebut ditakhsis dengan menyebutkan hukumnya, tidak yang lain.
Selesai hal : 459

Ijtihad
Pengertian ijtihad
Secara bahasa mencurahkan segala kemampuan dan kekuatan
Secara istilah mencurahkan segala kemampuan untuk meneliti terhadap dalil-dalil syare'at untuk membuat kesimpulan dalam hukum syare'at.

Pengertian ini mencakup bebrapa ketentauan, yaitu :
• Sesungguhnya ijtihada adalah mencurahkan segala kemampuan untuk meneliti dalil-dalil, ijtihad lebih umum daripada kiyas.
• Ijtihad tidak boleh kecuali dari orang yang betul-betul fakih, mengetahui dalil-dalil dan tata cara pengambilan hukum.
• Kadang-kadang ijtihad menghasilkan hukum yang sudah pasti kadang pula menghasilkan hukum yang belum pasti (dhany).
• Seungguhnya ijtihad itu hasil pendapatnya (ra'yu) seorang mujtahid, yaitu bentuk usahanya untuk menyingkap hukum Allah, ia tidak dinamakan Tasyre', karena tasyre' itu dari al kitab dan as Sunnah, sedangkan ijtihad merupakan pendapatnya seorang mujtahid.

Pembagian Ijtihad
Mujtahid dibagi menjadi dua bagian :
1. Mujtahid mutlak yaitu seorang mujtahid yang sudah sampai derajat mujtahid dan ia mampu untuk meneliti semua permasalahan-permasalahan yang ada.
2. Mujtahid Juz'I yaitu yang belum memenuhi derajat ijtihad dalam semua permasalahan, akan tetapi ia hanya berijtihad dalam masalah tertentu.

Para ulama berbeda pendapat mengebai ijtihad juz'I, akan tetapi menurut ahli ilmu mereka sepakat membolehkan dan menshahihkan ijtihad juz'I,

Apakah seorang mujtahid boleh pula berfatatawa tentang permasalahan ?
Dalam permasalahan in iterdapat 3 segi, yaitu :
1. Diperbolehkan bahkan ia dibenarkan (ini adalah pendapat yang paling sahih). Mereka berhujjah karena orang yang berijtihad, ia tahu betul keberananya dengan dalil-dalil yang ada, dan juga ia telah mencurahkan segenap kemampuannya untuk mengetahui kebenaran, maka ia dihukumi sebagaimana mujtahid mutlak.
2. Tidak diperbolehkan (dilarang).
3. Diperbolehkan jika dalam hal yang diwajibkan.
Dilihat dari terjadinya suatu perkara, maka ijtihad dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Permasalahan yang sudah terjadi. (boleh).
2. Permasalahan yang belum terjadi. (khilaf diantara para ulama)

Dilihat dari segi sah dan tidaknya, ijtihad dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Shahih : yaitu ijtihad yang bersumber dari seorang mujtahid yang sudah mempunyai kapasitas mujtahid dan yang sudah memiliki syarat-syarat menjadi seorang mujtahid.
2. fasid yaitu ijtihad yang bersumber dari orang yang bodoh terhadap kitabullah dan sunnah Rasul-Nya serta bodoh terhadap bahasa arab, ia belum memiliki syarat-syarat menjadi seorang mujtahid, sehingga ia terjatuh kedalam masalah-masalah yang tidak sesuai hukumnya.

Ibnu Qayyim berkata : "Ra'yu (pendapat) ada tiga macam, yaitu :
1. Ra'yu bathil
2. Ra'yu yang shahih
3. Pendapat antara sahih dan bathil (tengah-tengah)

Para ulama salaf mengisyaratkan, bahwa :
• Mereka mengamalkan pendapat yang shahih, dan memberikan fatwa dengan pendapat tersebut dan membolehkan berkata dengan pendapat tersebut.
• Sedangkan pendapat (ra'yu) yang bathil, mereka mencelanya, melarang untuk mengamalkannya, tidak memakia dalam berfatwa, keputusan dan mereka sepakat untuk mencelanya dan mencela orang yang menggunakannya.
• Sedangkan mengenai pendapat antara shahih dan bathil (tengah-tengah antara keduanya), mereka membolehkan mengamalkannya, berfatwa dan memberi keputusan dengannya jika sangat dibutuhkan, sekiranya ia jauh dari kesalahan. Mereka tidak mengharuskan untuk mengamalkan pendapat tersebut dan juga tidak mengharamkan orang yang menyelisihi pendapat tersebut. Dan tidak menjadikan orang yang menyelisihinya menyebabkan ia menyelisihi agama, akan tetapi mereka diantara dua pilihan, yaitu antara menerima dan menolaknya, seperti bolehnya memakan atau meminum sesuatu yang haram jika terpaksa, dan haramnya meminum atau memakan sesuatu yang haram jika tidak terpaksa.
• Sebagaimana perkataan imam Ahmad : "saya bertanya kepada imam Syafi'I tentang kiyas, maka ia menjawab : (dipergunakan) jika terpakasa." Hanya senya Para ulama menggunakan pendapat ini jika terpaksa.

Macam – Macam Pendapat Yang Bathil
• Pendapat yang menyelisihi nash, maka tidak diperbolehkan untuk menggunakannya, berfatwa dan memberikan keputusan dengannya.
• Perkataan dalam agama dengan kedustaan dan prasangka disertai dengan menambah-nambahi atau mengurang-ngurangi dalam nash-nash, ia pahami dan ia mengambil istinbath (kesimpulan) untuk menghukumi suatu permasalan dengannya.
• Pendapat yang mengandung peniadaan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya serta perbuatan-Nya dengan kiyas yang bathil sebagaimana yang dipergunakan ahli bid'ah dan orang-orang yang sesat, mereka menggunakan kiyas yang rusak dan pendapat yang bathil untuk menolak nash-nash yang shahih dan jelas.
• Pendapat yang diada-adakan oleh ahli bid'ah untuk merubah ketentuan-ketentuan as Sunnah.
Para Ulama salaf sepakat mengenai semua macam pendapat (ra'yu) diatas dalam mencelanya dan tidak boleh untuk diamalkan.

Macam – Macam Ra'yu (pendapat) Yang Terpuji
• Pendapat (ra'yu) para Shahabat, mereka adalah orang yang paling faqih diantara ummat ini, paling baik dan bersih hatinya. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan al Qur'an diturunkan, lebih mengetahui ta'wilnya dan yang mengetahui maksud syare'ah. Pada hakekatnya, pendapat mereka lebih baik dari pendapat kita, bagaimana tidak padahal pendapat mereka bersumber dari hati yang dipenuhi oleh cahaya Allah dan cahaya iman, dipenuhi oleh hikmah dan ilmu.
• Pendapat yang digunakan untuk menfsiri / menjelsaskan nash-nash, dan menjelsakan maksud dari dalil-dalil, yang menetapkan dan menjelaskan serta memudahkan metode istib\nbath (berkesimpulan) untuk menentukan dalil yang benar.
• Pendapat yang disepakati olehnya, Yaitu pendapat yang disepakati oleh ummat yang diambil dari orang sebelumnya, dan jika pendapat tersebut disepakati dan dimabil dari salaf (pendahulu)nya, maka pendapat tersebut bisa dipastkan kebenarannya., sebagaimana mereka sepakat dalam periwayatan.
• Pendapat yang terjadi setelah meneliti suatu permasalahan dari al Qur'an, maka jika tidak ada dalam al Qur'an ia beralih ke as Sunnah, dan jika tidak ada ia beralih terhadap keputusan para Khulafa' Rasyidin , jika masih belum dijumpai ia meneliti didalam perkataan salah satu dari para sahabat, jika tidak dijumpai lagi maka ia berijtihad dengan pendapatnya yang mendekati kebenaran al Qur'an dan as Sunnah dan keputuan para Sahabat, ini adalah pendapat yang dipergunakan oleh para sahabat dan diamalkan oleh mereka, bahkan mereka menetapkan pendapat yang seperti ini.

Syarat – Syarat Ijtihad.
Ada beberapa syarat untuk keabsahan ijtihad, sebagian syarat ini kembali kepada seorang mujtahid dan sebagian syaratnya lagi kembali kepada permasalahan yang ada.

Diantara syarat-syaratnya yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah :
1. Menguasai hukum-hukum syar'I, yaitu :
• al Kitab,
• as Sunnah,
• ijma',
• kiyas
• Istisab
• Dan yang lain dari dalil-dalil yang memungkinkan untuk dijadikan I'tibar.
Memiliki pengetahuan tentang maksud-maksud syare'at, dan sesuatu yang berkaitan dengan hukum, mengetahui nasikh dan mansukh, asbabun nuzul, tempat-tempat yang menjadikan perselisihan dan kesepaktan serta mengetahui hadits yang shahih dan hadits yang dla'if.
2. Hendaknya ia mengetahui (alim) dengan bahasa arab.
3. Hendaknya mengetahui maksud yang aam dan yang khas, mutlak dan muqayyad, nash, dhahir, muawwal, mujmal dan mubayan, manthuq dan mafhum, muhkam dan mutasyabih, perintah dan larangan.
4. Hendaknya seorang mujtahid mencurahkan segala kemampuannya dan hendaknya ia tidak membatasi dalam penelitian dan pembahasannya tentang suatu permasalahan.
5. Hendaknya didalam berijtihad seorang mujtahid senantiasa bersandar kepada dalil dan mengembalikan kepada asal (pokok permasalahan).
6. Hendaknya seorang mujtahid lebih mengetahui dengan suatu kejadian, dan mengetahui keadaan dari suatu permasalahan.

Peringatan
• Adil tidak termasuk syarat bagi seorang mujtahid.
Sedangkan syarat-syarat seputar permasalahan ijtihad adalah sebagai berikut :
• Hendaknya permasalahan tersebut belum ada nashnya atau belum ada ijma' atas hukumnya.
Dalil dari syarat ini adalah hadits Mu'adz yang telah masyhur, ia menjadikan ijtihad berada pada kedudukan yang terakhir, jika suatu hukum tidak ditemui dalam al Qur'an dan as Sunnah.
• Hendaknya nash dalam permasalahan tersebut masih ihtimal (masih umum). Seperti sabda Rasulullah kepada para Sahabat, beliau menyuruh mereka untuk tidak shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah.
• Hendaknya tidak dari permasalahan tentang 'aqidah, karena sesunggunya ijtihad dan kiyas hanya berlaku dalam masalah hukum.
• Hendaknya permasalahan mujtahid dari permasalahan nawazil (permasalahan yang sudah terjadi tapi belum ada hukum tentang permasalahan tersebut). Sedangkan terhadap permasalahan yang belum terjadi, jumhur (mayoritas) ulama membenci keadaan seperti ini, sebab hal itu merupakan bentuk menta'thilkan sunnah dan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan syara' untuk bertawaquf. Mereka berdalilkan sabda Rasulullah :
إن أعظم المسلمين جرما من سأل عن شيء لم يحرم فحرم من أجل مسألته
Ibnu Qayyim berkata : lain halnya dengan para Sahabat, mereka bertanya kepada Rasulullah terhadap sesuatu yang bermanfa'at bagi mereka dari berbagai kejadian yang mereka alami, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang memberatkan mereka.
Firman Allah : al Maidah : 101-102.

Hukum Ijtihad
Dalam pembahasan in iada dua permasalahan, yaitu :
1. Hukum Ijtihad secara umum
2. Hukum Ijtihad secara sendirian

Hukum Ijtihad secara umum, menurut madzhab mayoritas ulama diperbolehkan ijtihad secara umum. Ibnu Taimiyyah berkata : adapun menurut Jumhur Ulama bahwa ijtihad diperbolehkan secara jumlah."
Dalilnya adalah :
1. Firman Allah al Anbiya' : 78-79
2. Sabda Rasulullah :
إذا حكم الحــاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر.
3. Hadits Mu'adz, tatkala Rasulullah mengutusnya ke Yaman.
4. Ijtihad Rasulullah dalam beberapa kejadian
5. Adanya izin dari Rasulullah terhadap sebagian Sahabat dalam berijtihad.

Hukum Ijtihad secara Khusus (sendirian).
Dalam masalah ini ada beberapa hukum sesuai dengan keadaan mujtahid dan juga permasalahan dan kebutuhan yang ada, diantaranya :
1. ijtihad menjadi wajib jika seorang mujtahid mempunyai keahlian dalam berijtihad dan permasalahan sangat membutuhkan suatu hukum sedangkan waktu juga sangat menentukan.
2. Ijtihad menjadi mustahab jika belum dibutuhkan dan seorang mujtahid mempunyai keahlian dalam berijtihad sedangkan waktu masih longgar.
3. Ijtihad menjadi haram jika seorang mujtahid tidak mempunyai keahlian dalam berijtihad dan tidak didapatinya suatu kebutuhan atau permasalahan tersebut tidak diperbolehkan untuk berijtihad.
4. Ijtihad menjadi makru jika seorang mujtahid ahli dalam berijtihad sedangkan permasalahan belum muncul.
5. Ijtihad menjadi mubah jika seorang mujtahid memiliki keahlian dan maslahah dimungkinkan untuk terjadi sedangkan waktunya masih longgar.

Madzhab Salaf dari Sahabat dan Tabi'in :
Mereka tidak menkafirkan, tidak menfasikkan serta tidak menganggap berdosa terhadap seorang mujtahid yang salah dalam berijtihad dalam permasalahan yang ilmiyah ataupun tidak, dalam masalah ushul ataupun furu' (cabang), dalam masalah yang qath'I (pasti) ataupun dhani.
Yang demikian itu harus ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Hendaknya mujtahid yang salah dalam berijtihad masih mempunyai ukuran, yaitu keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab udzur karena salah merupakan suatu kekhususan bagi ummat ini, sebagaimana yang terdapat nash-nash yang syar'i.
2. Hendaknya seorang mujtahid mempunyai niat yang benar untuk mencari suatu kebenaran.
3. Hendaknya seorang mujtahid mencurahkan segala kemampuanya dan bertaqwa kepada Allah sebisa mungkin.

Selesai hal : 484

Taqlid
Taqlid secara umum diperbolehkan bagi ummat ini yang tidak mampu baginya untuk meneliti dalil-dalil dan mengambil kesimpulan dari hukum-hukum tersebut.
Ibnu Abdil Bar berkata : "Tidak ada khilaf dikalangan ulama bahwa ummat boleh bertaqlid kepada ulama-ulamanya, dan inilah yang dimaksud dari firman Allah : Al Anbiya' : 7
Ibnu Taimiyyah berkata : "Menurut Jumhur Ummat ini, bahwa ijtihad diperbolehkan secara umum begitu juga taqlid diperbolehkan secara umum …."

Taqlid diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Hendaknya orang yang taklid benar-benar jahil (bodoh), lemah untuk memahami hokum-hukum Allah dan Rasulullah
2. Hendaknya ia bertaklid kepada orang yang diketahui keilmuannya dan ijtihadnya dari orang yang shalih dan ahli dalam bidang agama.
3. Hendakanya seorang yang ditaqlidi mengemukakan bahwa perkataan orang lain orang lain itu lebih kuat dan rajah dari perkataannya.
4. Hendaknya dalam bertaqlid tidak menyelisihi nash-nash syar'i yang sudah jelas atau menyelisihi kesepakatan ummat.
5. Hendaknya seorang yang ditaklidi tidak mengharuskan untuk berpegang kepada suatu madzhab tertentu disetiap permasalahan, akan tetapi hendaknya ia berusaha untuk mencari dan mengikuti pendapat yang lebih mendekati kebenaran.

Diantara taqlid yang tercela adalah :
1. Berpaling dari apa yang telah diturunkan Allah da mencukupkan untuk bertaklid kepada nenek moyangnya. Firman Allah Luqman : 21
2. Taklid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya dalam permasalahan agama (al Isra' : 36)
3. Taklid kepada perkataan yang menentang firman Aallah dan Rasul-Nya.
4. Taklid setelah kebenaran itu jelas dan dalil telah diketahui.
5. Taklidnya seorang mujtahid yang memiliki keahlian untuk berijtihad.

Beberapa Peringatan :
• Mengikuti wahyu, mengamalkan nash-nash dan mengambil dalil-dalil syar'i merupakan pokok yang mendasar dari dasar-dasar agama, bahkan hal itu merupakan tuntutan dari tauhidullah dan beriman kepada-Nya.
• Harus dibedakan antara taklid denga ittiba'.
Ittiba' adalah mengikuti dalil dan mengamalakn berdasarkan wahyu, Allah telah menamakan beramal dengan wahyu sebagai ittiba' di berbagai tempat dalam kitab-Nya (al A'raf : 3)
Sedangkan taklid berada dalam ruang lingkup ijtihad, maka tidak ijtiad dan tidak ada taklid didalam nash-nash wahyu yang shahih yang jelas dalil-dalilnya dan yang selamat dari perbedaan.
• Telah ada ketetapan dari imam-imam yang empat dan yang lainnya tentang larangan bertaklid terhadap mereka.
Ibnu Taimiyyah berkata : "Mereka semua sepakat bahwa tidak ada orang yang terbebas dari kesalahan dari setiap yang diperintahkan dan dilarang kecuali Rasulullah, oleh karena itu mereka berkata : "setiap orang itu diambil dari perkataannya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah."
Para imam empat telah melarang manusia untuk bertaklid terhadap mereka disetiap apa yang mereka katakan, dan ini merupakan suatu kewajiban.
• Yang shahih dan yang tetap bahwa seorang alim (ulama) itu terkadang sala, karen aia tidak ma'shum dari kesalahan, maka tidak boleh untuk mengambil semua perkataannya.
Selesai hal : 502

Fatwa
Pengertian Fatwa
Secara bahasa : menjelaskan suatu hukum.
Secara istilah : menjelaskan hukum syar'i.

Hukum Fatwa
1. Asalnya hukum berfatwa adalah boleh, seba hal ini juga pernah ditetapkan dari para saabat bahwa mereka memberikan fatwa kepada manusia, diantara mereka ada yang paling banyak memberiakan fatwa dan ada juga yang sedikit memberikan fatawa, begitu juga dikalangan para tabi'in dan orang-orang yang setelah mereka. Firman Allah an Nahl : 43 da al Anbiya' : 7
2. terkadang hukum berfatwa menjadi wajib, jika seorang mufti memiliki keahlian dalam berfatwa sedangkan permasalahan sangat membutuhkan hukum dan tidak ada orang lain selain dia. Firman Allah : al Baqarah : 159
3. Terkadang hukum berfatwa menjadi mustahab (anjuran) jika seorang mufti memiliki keahlian dan belum dibutuhkan (belum ada permasalahan).
4. Terkadang hukum berfatwa menjadi haram jika seorang mufti jahil dengan hukum, firman Allah al A'raf : 33
5. Seorang mufti dimakruhkan tatkala memberi fatwa dalam keadaan sangat marah, sangat lapar, dirundung kesedihan, sangat takut, ngantuk berat, hatinya sangat sibuk dengan perkara lain atau sedang menahan kencing atau berak."
Kewajiban seorang mufti adalah memberikan fatwa terhadap orang yang bertanya, dengan beberapa tahapan :
1. menjelaskan hukum Allah dan Rasul-Nya jika ia mengetahuinya.
2. Menjelaskan dari perkataan para imam
3. Menjelaskan sesuatu berdasarkan pendapatnya setelah mengadakan penelitian dari dalil dan mencurahkan segala kemampuannya dalam permasalahan ini.
Syarat – Syarat Mufti
1. Hendaknya ia seorang yang alim
2. Hendaknya ia seorang yang adil dan disifati dengan jujur dan amanah

Shifat Seorang Mufti
1. Hendaknya ia memiliki niat, jika tidak ada niat maka tidak aka ada cahaya dalam diri dan perkataannya
2. Hendaknya dia seorang yang bijaksana, berilmu dan tenang
3. Hendaknya seorang yang kuat dalam ilmu pengetahuannya
4. Seorang yang mampu memikul beban
5. Mengetahui keadaan manusia
Ibnu Qayyim berkata : Lima hal ini merupakan penopang dalam berfatwa, jika salah satunya ada kekurangan dalam diri seseorang maka akan nampak cacat dalam fatwanya.

Adab – Adab seorang Mufti
1. Hendaknya ia tidak memberikan fatwa dalam permasalahan yang sekiranya sudah ada hukumnya (jawabannya) / mencukupkan jawaban yang telah ada jawabannya.
2. tidak tergesa-gesa dalam berfatwa, akan tetapi hendaknya ia meneliti terlebih dahulu dalil yang sesuai dengan permasalahan.
3. Bermusaywarah dengan orang yang berilmu dan kuat agamanya (ali Imran : 159)
4. Menyembunyikan aib / kejelekan manusia
5. Jika ada dua pendapat dan ia tidak mengetahui manakah yang lebih rajah dan benar diantara keduanya, maka hendaknya ia bertawakuf dan tidak memberikan fatwa.
6. Hendaknya ia menunjukkan orang yang diberi fatwa atas orang yang lebih berilmu daripada dia
7. menyebutkan dalil dalam berfatwa
8. hendaknya seorang mufti memberikan fatwanya dengan lafal nash jika memungkinkan.
9. wajib bagi seorang mufti memberikan fatwa dengan benar walaupun menyelisihi madzhabnya.
10. Hendaknya seorang mufti menjelaskan permasalahan dan menjawab dengan jelas untuk menghilangkan kemusykilan (permasalaan).
11. Hendaknya seorang mufti berhati-hati dalam berfatwa tentang masalah yang masih ada perbedaan.
12. Tidak boleh bagi seorang mufti bersaksi atas Allah dan Rasul-Nya bahwa ini halal atau haram, kecuali jika memang perkara tersebut dihalalkan atau diahramkan Allah dan Rasul-Nya
13. Hendaknya seorang mufti, jika ada suatu permasalahan senantiasa menghadapkan wajahnya kepada Allah agar diberi ilham dan dibukakan pintu kebenaran.
14. Boleh bagi seorang mufti bahkan diwajibkan baginya untuk merubah fatwanya jika diketahui bahwa fatwanya salah.

Adab – Adab Seorang Yang Minta Fatwa
1. Hendaknya ia bersungguh-sungguh mencari mufti yang benar-benar berilmu dan mempunyai agama yang baik.
2. Hendaknya ia menghormati seorang mufti
3. Tidak boleh baginya mengamalkan fatwa yang masih belum diyakininya.
4. Jika seorang mufti berfatwa baginya tentang hukum kejadian kemudian dilain watu ia mendapatkan permasalahan seperti itu, hendaknya ia meminta fatwa kembali, sebab bias jadi fatwanya berubah dengan fatwa yang pertama.
5. Tidak layak baginya bertanya kepada seorang mufti tentang kejadian yang belum terjadi bahkan kejadian yang tidak mungkin terjadi.

Selesai akhir



Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

0 komentar:

Posting Komentar

Add to Google Reader or HomepageAdd to WebwagSubscribe in RojoAdd to My AOLAdd to netvibesSubscribe in BloglinesAdd to The Free DictionaryAdd to PlusmoSubscribe in NewsAlloyAdd to Excite MIXAdd to netomat HubAdd to fwickiAdd to WebwagAdd to AttensaSubscribe in podnovaAdd to Pageflakes

Design by JUNDULLAH LA MANIA Visit Original Post